Dito Baik?

1.1K 51 3
                                    

Terkadang mengejar mimpi itu sulit. Kita harus memulainya dari awal, banyak proses yang berliku. Seperti saat ini, aku sudah terjun ke dunia literasi sejak duduk di bangku kelas 9 SMP. Saat itu aku hanya menjadi penggemar tulisan penulis lain, berbeda dengan beberapa tahun ini aku mulai berani merangkai kata.

Aku berdiri terpaku di ambang pintu, mereka masih asyik bermain game tanpa melihat ke arahnya.

"Hai, Naila?" sapa salah satu temannya Dito.

"Hai," jawabku dengan kaku.

"Kenapa?" tanya Dito dengan dingin sambil melirikku sekilas.

Aku merasakannya lagi. Tatapan itu kini lebih berkesan dingin. Bukankah Dito sering berubah-ubah sikap kepada dirinya? Aku berjalan ke dapur, melihat sekeliling dan tidak ada makanan siap saji. Lantas aku balik lagi ke tempat dimana mereka sedang bermain game.

"Kenapa lagi?" tanya Dito dengan ketus. Apakah aku seribet itu?

"Aku laper," ujarku. Aku masih setia dengan diamku ini, menunggu dia untuk bangkit dan mencari makanan. Tapi tak ada tanda-tanda jika dia akan mengajakku mencari makan, nyatanya dia masih fokus bermain game.

Aku hendak balik ke kamar, tetapi Dito sudah bangkit dari duduknya itu. "Ayoo," ajak Dito.

"Gua cari makan dulu, kalian mau nitip apa?" tanyanya kepada teman-teman Dito.

"Terserah lu aja, Hen," ujar dari salah satunya. Aku melihat Dito masuk ke kamar, ternyata dia memakai jaket. Lalu menyambar kunci mobil yang berada di atas meja.

"Ayoo," ajaknya lagi. Aku sedikit berlari untuk mensejajarkan langkahku dengannya.

Langit malam yang sama seperti hari-hari biasanya. Tak ada yang istimewa, hanya diriku saja yang kini berbeda.

"Kamu ngapain sih bawa mereka?!" ujar Naila.

"Reunian," jawabnya singkat.

Aku memalingkan wajah ke arah luar jendela. Sebenarnya aku sudah malas jika harus meladeni sikap Dito yang begini. Malam yang disajikan dengan bintang yang berkelap-kelip menjadi saksi jika aku sedang kesal.

"Tapi gimana kalau mereka cerita ke orang lain, Dito?!" geram Naila.

Mobil pun berhenti.

"Mereka sahabat saya," ucapnya ringan.

"Sahabat aku pun gatau, aku malu. Tapi ini? Kamu sengaja?!" sungut Naila, dia sejak tadi sudah menahan ini semua.

"Kamu sama saja sudah melanggar perjanjian kita," ucapnya lemas.

"Maaf," ucapnya, tapi dengan nadanya saja sudah menandakan jika dia tidak tulus untuk meminta maaf. Lagian sudah terlanjur kan?

"Aku belum siap," lirih Naila. "Aku malu kalau mengingat tentang kita dijodohin," lanjutnya lagi.

"Saya melamar kamu," ingat Dito kepada Naila. Naila memang masih belum siap untuk mempublikasikan tentang hubungan mereka, dia hanya ingin seperti ini dulu saja. Tapi, Dito malah membuka semuanya secara terang-terangan di depan orang lain yang katanya sahabat.

Bahkan Naila belum siap kalau dia harus bercerita kepada Zahra. Sebenarnya Naila juga tak ingin mengkhianati Zahra, tapi bagaimana jika Naila belum siap? Bukankah suatu hal tidak berhak didasari dengan keterpaksaan? Itu menurut prinsip Naila.

"Lain kali gausah pake baju kaya gitu! Saya tidak suka!" protes Dito, lalu dia keluar mobil. "Gausah keluar! Tunggu di dalam!" ujarnya lagi dengan penegasan.

"Hah?" ucap Naila dengan celengo.

Benarkah jika Dito tidak suka karena Naila memakai hotpants? Dia kenapa? Cemburu kah? Tapi tidak mungkin. Apa karena dia tidak menyukai perempuan seksi? Astaga, kalau iya itu akan keterlaluan.

Jodoh Terbaik (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang