Zahra.
Kami terus berlari menjauhi sekumpulan orang aneh itu, hingga akhirnya memilih ruang kelas ku—XI IPS3, di lantai 2 sebagai tempat untuk bersembunyi. Begitu tiba disana awalnya kukira ruangan itu telah penuh disesaki oleh anak-anak lain tapi rupanya ruangan itu kosong. Kami pun bergegas memasukinya dan tak lupa menutup pintu. Untuk berjaga-jaga, pemuda yang menolongku tadi mencoba menahan pintu masuk dengan lemari di sudut kelas yang sudah berdebu.
"Cepat bantu aku mendorong lemari ini!" perintah pemuda yang menolongku. Akupun segera bangkit dan membantunya mendorong lemari tersebut. Memang berat, tapi kami harus tetap berusaha menahan pintu itu, dengan susah payah benda ini akhirnya bisa diletakkan di depan pintu kelasku.
"Hah...hah...hah..." deru nafas kami berdua memenuhi ruangan. Kami saling terduduk di lantai berusaha mengatur nafas sebaik mungkin.
"Terimakasih ya, sudah menolongku. Aku gak tahu apa yang bakal terjadi kalau kamu tadi gak ada." tentu harus ku ucapkan kata terimakasih sebab dia telah menyelamatkanku, bukan? Namun dia tak menjawab, hanya mengangguk singkat. Kurasa pemuda ini cukup pendiam, "Aku Zahra. Kamu siapa?"
"Panggil aja Devan." jawabnya tanpa menoleh ke arahku, ia masih sibuk memperhatikan sesuatu di balik jendela kelas, "Apa kamu terluka?" tanya nya tiba-tiba. Sedikit kaget tentu saja, tapi ku coba untuk tetap mengatur ekspresi, "kayaknya nggak, aku cuma lecet di bagian siku aja."
"Kamu gak digigit, kan?"
Ku gelengkan kepalaku, bisa aku lihat raut wajahnya tampak lega, "Syukurlah."
Kami terdiam sesaat. Kembali Devan fokuskan pandangannya ke balik jendela, mungkin memastikan kondisi diluar sana. Penasaran, aku pun turut melakukan hal serupa di sebelahnya. Tak ada yang berubah, semua masih sama. Penuh teriakan dan erangan mengerikan dari orang-orang yang aneh. Siapa sebenarnya mereka itu? Rasa-rasanya hal yang kulihat di dalam film seperti terekam ulang dalam adegan ini.
"Sebenarnya apa yang terjadi disini? Kenapa orang-orang itu bertingkah aneh? Seperti dalam film-film saja." aku berusaha mencari jawaban dari Devan. Siapa tahu, dia bisa menjawab pertanyaan yang sedari awal selalu kupikirkan. Tapi yang dia lakukan malah mencari sesuatu di saku celananya. Sebuah telepon genggam.
"Coba lihat artikel ini." Dia menyodorkan benda kotak itu padaku. Tertulis sebuah artikel paling puncak dengan huruf besar didalamnya.
"Waspadalah! Kanibal mulai mewabah."
Aku tertegun. Ternyata kejadian ini tidak hanya terjadi di sekolahku saja.
"La-lalu orang-orang itu? Mereka...." Ucapanku menggantung. Kukembalikan ponsel itu pada Devan. Ku coba mengecek ponselku juga dan mencari trending saat ini. Berbagai kata kunci yang berhubungan berjajar memenuhi trending topik.
"Perlu ditekankan, mereka sudah bukan manusia lagi. Mereka itu monster. Untuk itu jangan sampai kita juga ikut menjadi korban selanjutnya." tegasnya.
Seketika aku teringat akan sesuatu dan tak lama akupun terisak.
"Astaga. Ke-keluarga... Keluargaku. Bagaimana dengan mereka?! Dan juga temanku. Dia masih diluar sana! Sebaiknya aku mencari dia." akupun hendak beranjak namun lenganku sudah lebih dulu ditahan oleh Devan.
"Kamu gila ya?! Bagaimana kamu mau mencari temanmu di luar sana. Sementara makhluk itu kian lama kian bertambah. Kamu mau menjadi santapan mereka?! Tadi saja kamu sudah hampir termakan olehnya." ini pertama kalinya ku dengar laki-laki ber-rahang tegas itu mengucapkan kalimat yang panjang. Namun alih-alih senang, air mataku justru kian mengalir. Bagaimana tidak, dia kan membentakku.
Melihat aku yang justru semakin histeris, membuat dia menjadi panik. Yah, meski tidak begitu kelihatan wajahnya yang terlihat cemas itu, "Maaf. Aku gak bermaksud membuat kamu menangis, tapi kamu juga harus bisa mengontrol diri kamu. Kamu jangan bertindak gegabah begitu. Siapa tahu temanmu itu sudah masuk keruangan lain dan berkumpul dengan murid-murid yang juga masih selamat. Tentang keluargamu, mungkin saja mereka sudah di evakuasi sejak awal dan sekarang berada di tempat yang aman. Tetaplah berpikir positif jika kamu ingin bertahan." Devan menepuk bahuku mencoba untuk menenangkan kepanikanku. Yang dikatakannya memang tidak salah. Sekarang, yang bisa aku lakukan hanya bisa menunggu dan bertahan.
Waktu kian berlalu, senja mulai mengambil jam kerjanya. perut kami mulai kelaparan. Aku baru ingat kalau bekal makan siangku tadi belum sempat ku makan. Ku coba melihat isi tasku dan menemukan kotak bekal makan siang hari ini berisi nasi dan beberapa potong nugget lengkap dengan saus tomatnya.
"Devan, aku masih punya sedikit makanan. Mau makan bersama? Kita kan juga butuh tenaga untuk bertahan dari peristiwa mengejutkan ini. Aku juga masih punya air minum yang sepertinya cukup untuk kita berdua." meski awalnya sedikit malu, tapi dia tetap meraih makanan yang telah kubagi. Kurasa Devan bukan tipe yang mementingkan gengsi, dia akan melakukan apapun demi bisa bertahan hidup. Yah, itu hanya asumsiku mengenai pertemuan pertama kami. Entah bagaimana sikapnya di kemudian hari.
Ditengah suasana makan malam yang gelap itu, sebuah suara gebrakan dari balik pintu tiba-tiba mengejutkan kami.
Brak! Brak! Brak!
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
DON'T PANIC (Completed)
غموض / إثارة(Sudah di revisi) Sekelompok murid yang terjebak dalam sekolah akibat serangan wabah virus aneh yang menyebabkan mereka harus bertahan hidup dan mencari jalan keluar dari sekolah itu. "Jangan panik, atau kalian akan ketahuan." Start : November 202...