XII

825 115 1
                                        

Pagi ini, seperti hari-hari sebelumnya. Devan, Angga, Zahra, Sarah, ditambah Harris hanya berdiam diri didalam ruangan Pramuka itu sembari menyantap sebungkus roti sebagai sarapan mereka.

Ini sudah hari ke-5 sejak malam pertemuan Harris dengan keempat anak itu. Mesin diesel yang menjadi sumber listrik telah kehabisan bahan bakar, ditambah makanan serta minuman yang juga kian menipis—mungkin hanya bertahan selama beberapa hari lagi. Namun sampai sekarang pun, mereka masih belum menemukan rencana yang tepat untuk keluar dari sekolah ini. Dengan selamat tentunya.

"Bagaimana kondisi persediaan makanan kita?" tanya Devan, kemudian memasukkan potongan roti itu kedalam mulutnya.

Zahra menghela nafasnya pelan. Tampak wajahnya tidak terlihat seperti memberikan kabar yang baik. "Kita hampir kehabisan stok makanan. Jika dihitung mungkin hanya bertahan untuk seminggu kedepan. Itu pun harus dengan mengurangi setengah jatah makan kita dari yang biasanya."

"Kalau begini terus. Bisa-bisa kita bakal mati kelaparan." ujar Angga risau.

"Ini tidak bisa dibiarkan. Kita harus mulai susun rencana untuk keluar dari sini sebelum bahan makanan kita habis." tukas Harris. Yang lantas segera di angguki oleh keempat murid di sampingnya.

"Akh! Kenapa harus begini sih. Coba aja dari awal gak ada zombie atau makhluk aneh apalah itu. Gak akan gini kan jadinya. Pasti sekarang kita lagi santai di kelas, sambil belajar, terus nyiapin segala hal buat ulangan semester." manik mata Sarah mulai berkaca-kaca. "Siapa sih yang awalnya nyebarin virus ini?!" gadis itu menekuk lutut dan menenggelamkan wajahnya. Zahra yang berada di samping, menepuk pelan punggung temannya, "Tenang Sarah. Kita pasti bisa lewatin tantangan ini."

Mendengar keluhan Sarah barusan, membuat jantung Harris terasa seperti tertusuk sebilah pisau. Tanpa sengaja, dia tengah disindir. Memalukan. Tapi memang itu kenyataanya. Dia yang menyebarkan virus itu. Dia yang membuat kesalahan di laboratorium kala itu. Dia yang menghancurkan kehidupan orang-orang tak bersalah ini. Haruskah dia mengaku sekarang? Setelah ini, apa mereka masih mau percaya padanya? Tidak-tidak. Lebih baik tahan sebentar lagi.

"Entah sengaja atau tidak. Tapi mereka udah hancurin kehidupan kita!" Sarah kembali terisak.

Devan menunduk dalam. Ia lupa bahwa Sarah dan Angga masih belum mengetahui latar belakangnya. Hanya Zahra yang ia beritahukan malam itu. Haruskah ia mengatakannya sekarang? Ia kini memandang laki-laki yang pernah menjadi murid dari ayahnya tersebut, kedua obsidian mereka saling bertemu. Seolah paham apa yang di maksud dari tatapan milik Devan, Harris menggeleng, mulutnya berujar tanpa suara, "Jangan dulu. Biar saya saja."

Kini Harris beralih memandang Sarah dan Zahra, "Anak-anak, ada sesuatu yang harus saya beritahukan pada kalian." ia menarik nafasnya dalam. Keempat muridnya masih Setia menunggu.

"Mungkin Devan juga sudah tahu tentang hal ini. Kalian ingat, jurnal yang diberikan Devan kepada saya? Di dalamnya ada sebuah laporan penelitian milik profesor Dellen. Penyebab dari peristiwa ini terjadi berasal dari penelitian tersebut."

Ketiga muridnya kini memandang penuh keterkejutan, meski Zahra telah mengetahuinya dari Devan, ia masih belum belum bisa mempercayainya. Ia benar-benar tak menyangka seluruh negeri runtuh hanya karena sebuah keegoisan dari penelitian tak masuk akal.

Pak Harris kembali melanjutkan, "Ketika itu saya turut menjadi penanggung jawab di dalam penelitian profesor Dellen tersebut. Namun semua itu bukan kesalahan profesor, ini murni disebabkan karena kelalaian saya sendiri. Maka dari itu saya berusaha untuk memperbaikinya." baiklah, ia mengaku sekarang. Entah apa yang akan murid-muridnya lakukan nanti.

"Memperbaiki?! Kehidupan kami sudah rusak karena ulah bapak! Bagaimana mau memperbaikinya?!" Angga yang sedari tadi berusaha menahan emosi, kini tak dapat ia bendung lagi. Pemuda itu berseru di hadapan pak Harris. Devan berusaha menahan Angga, "T-tunggu dulu, Angga. Pak Harris pasti gak punya maksud untuk mencelakakan semua orang—"

"Jangan bela dia van! Lo sama aja. Karena penelitian sialan bokap lo itu, kita semua jadi dalam bahaya—"

Bugh!

Semua orang di dalam ruangan itu serempak membelalakkan mata. Baru saja Devan memberikan bogem mentah tepat di pipi kiri Angga, membuat laki-laki itu langsung tersungkur. Tampak bagian bawah bibirnya sedikit sobek hingga mengeluarkan darah. Devan tersulut emosi. Ia benar-benar murka ketika mendiang ayahnya di sebut sebagai pelaku, "Jangan bawa-bawa bokap gue. Apa lo gak denger ucapan pak Harris tadi? Profesor Dellen tidak bersalah. Semua ini bukan salah dia!" ujarnya penuh penekanan.

Angga tersenyum miring, ia mendengus, "Tapi dia kan yang menemukan ide penelitian gila itu?!" Devan kian geram, ia mendekati Angga dan kemudian menarik kerah kemeja lusuh pemuda tersebut, "Lo bener-bener gak tahu terimakasih banget sih?! Apa lo gak ingat siapa yang nolongin lo dan cewe lo pertama kali, hah?!"

"Ohh... Jadi lo gak ikhlas nolongin gue sama Sarah?"

"Bajing*n—"

"Cukup!" teriakan Zahra seketika menghentikan pertengkaran antara Devan dan Angga. Devan menurunkan kembali tangan kanannya yang sudah siap hendak memukul wajah Angga lagi.

"Disaat genting seperti ini kalian malah berkelahi?! Aku paham situasi kita sekarang benar-benar kacau. Tapi jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk saling menyalahkan satu sama lain. Kamu, Angga, bisa gak jangan berbicara sembarangan seperti itu? Bagaimanapun juga kita semua bisa ada disini karena Devan. Kamu gak sepantasnya mengatakan hal yang gak baik tentang dia.

Lalu Devan, aku tahu perasaan kamu sebagai seorang anak yang ayahnya di tuduh seperti pelaku kriminal. Tapi kamu juga harus menyadari kesalahan ayah kamu. Aku pernah bilang, kamu tidak bersalah, tapi bukan berarti aku juga membela kesalahan ayah kamu. Dan penelitian itu, juga atas dasar pemikiran ayah kamu kan? Beliau yang membuka proyek penelitian itu.

Dan pak Harris, selamat, bapak berhasil membuat saya kecewa sekali lagi. Tapi kali ini saya tahu, saya tidak boleh gegabah dan kembali terbawa emosi seperti waktu itu. Jadi saya mohon, bapak ceritakan kembali apa yang sebenarnya terjadi di dalam penelitian tersebut, hingga membuat bapak menjadi penyebab dari mimpi buruk ini."

Pak Harris mengangguk, ia membenarkan letak kacamatanya lebih dulu sebelum menjelaskan. Keempat anak itu pun kini sudah duduk dengan tenang, meski Devan dan Angga masih nampak bersitegang.

Kunci dari segala mimpi buruk yang datang tiba-tiba ini mulai terbuka.

°°°

DON'T PANIC (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang