VIII

884 125 2
                                    

Crasss!!!

Darah segar bercucuran mengenai wajah dan pakaian Zahra. Dia membeku, begitu pun aku. Tubuh Belinda tumbang seketika. Dengan mata putihnya yang masih terbuka.

Entah sejak kapan, tapi kulihat sudah ada Sarah dan Angga di sana. Nafas mereka menderu, peluh membasahi kening keduanya. Rupanya Angga yang telah menebas leher Belinda. Terlihat dari senjatanya yang masih basah oleh darah segar dan lendir berwarna hijau. Dengan kepala yang masih berat, aku berjalan ke arah mereka.
Sarah segera mendekati Zahra untuk berusaha menenangkannya.

"Zahra, kamu gak apa-apa kan?" Zahra masih terdiam. Pandangannya tertuju pada jasad sahabatnya.

Aku dan Angga saling memandang. Melempar kode yang langsung dimengerti oleh kami. Aku mendekati Zahra dan menutup kedua matanya dengan tanganku, sementara Angga menggeret mayat Belinda ke sudut ruangan dan menutupinya dengan kain sprei yang tadi dilipat sendiri oleh Belinda. Agak ironi bukan?

"Nangis aja. Gak papa. Gak baik kalau ditahan." mendengar kataku barusan, Zahra langsung terisak dengan kencang. Bisa kurasakan tanganku basah oleh air matanya. Reflek, dia memelukku. Aku pun tidak bisa menolak. Dia memang butuh seseorang yang menenangkannya saat ini seperti kami.

"Eh?!" Gumaman Angga mengejutkan kami. Perlahan Zahra berhenti menangis.

"Kenapa ngga?"

"Gue nemu ini di saku roknya dia. Kayaknya ini semacam surat gitu deh. Nih." Angga menyodorkan sebuah kertas yang dilipat itu pada Zahra. Meski sedikit ragu, Zahra tetap menerimanya. Kurasa kertas itu berisi sebuah kalimat yang cukup penting. Penasaran, aku pun mendekati Zahra dan ikut membaca isi dari kertas tersebut.

Kalau kalian baca surat ini, kemungkinan besar gadis itu sudah tewas. Aku minta maaf jika harus mengorbankan teman kalian.

Kalian ingin selamat, kan? Setelah ini segeralah datang ke ruang pramuka.

Tangis Zahra kembali pecah. Sepertinya ia tidak menyangka sahabatnya akan dijadikan tumbal seperti ini.

"Kalau begitu, tunggu apalagi? Ayo kita kesana sekarang." Angga berjalan menuju pintu namun segera ku cegah.

"Tunggu dulu. Jangan sekarang. Kondisi Zahra masih belum stabil. Dia pasti sudah kehilangan banyak tenaga. Begitupun kita kan. Kalau kita kesana sekarang, yang ada malah makin bahaya dan rumit. Kita berangkat besok aja. Gimana?"

"Lo bener juga. Ok deh. Gue juga capek sebenernya. Tapi, gimana kalau orang yang ngirim surat itu udah ga ada?" mendengar perkataan Angga, membuat kami semua terdiam. Benar juga, bagaimana jika orang itu sudah....

"Gak, gak! Kita harus tetap optimis. Aku gak mau pengorbanan sahabatku jadi sia-sia. Siapapun orang itu, dia harus tetap hidup dan menolong kita semua. Dia juga harus bertanggung jawab atas kematian Belinda." Zahra meremat kertas itu dengan kuat. Ini pertama kalinya aku melihat dia tersulut emosi.

Akhirnya kami pun setuju untuk tetap bertahan di UKS hingga besok. Memulihkan tenaga memang butuh waktu, bukan? Untungnya Sarah dan Angga juga sudah membawa bekal dari kantin untuk kami semua.

Tak lupa kami juga memanjatkan doa pada Belinda sejenak. Awalnya mungkin memang aku tidak suka padanya. Tapi melihat dirinya seperti ini sekarang, aku menyesal telah menghujatnya.

Semoga kamu tenang disana Belinda.

Doa kami semua untuknya.

"Oh iya, kenapa kalian kesini tadi?" tanyaku seraya memakan biskuit yang Sarah bawa.

"Lo sama Zahra lama banget tadi. Gue kira kalian kenapa-napa. Kami kan khawatir, makanya gue sama Sarah inisiatif buat nyusul kesini deh. Untung aja gue sempet bunuh tuh zombie, kalau gak lo berdua pasti udah—"

"Ssssttt!" Sarah menyenggol lengan Angga untuk berhenti bicara dan membahas Belinda. Aku melihat Zahra sekilas, dia menghentikan sejenak suapannya ke dalam mulut dan lalu tersenyum.

"Eh! Maaf ya ra, gue keceplosan. Gue gak ada niat buat ngomongin temen lo itu."

"Gak papa kok. Terimakasih ya, udah nolongin aku tadi." Angga hanya mengangguk canggung.

"Oh iya, luka kamu udah sembuh? Kok kamu udah bisa jalan kesini?"

"Iya untungnya sebelum kesini, gue sempet pakek minyak urut yang di kantin itu. Ternyata lumayan juga. Lagian udah seminggu lewat, jadi gak terlalu sakit lagi. Yahhh kalau nyeri-nyeri gitu masih sih sedikit hehe."

"Lah, sia-sia dong gue benerin tuh kursi roda buat lo. Tahu gitu dari tadi gue gak bakal buang-buang waktu cuma buat benerin tuh kursi. Ah elah."

"Ehehe, maap dah. Eh tapi thanks ya lo udah mau repot-repot benerin kursi roda buat gue. Yahhh, meski akhirnya juga gak bakal kepakek sih. Duh, gue jadi terharu hiks." ku hela nafas panjang, melihat Angga berakting seperti itu, benar-benar membuatku ingin muntah di depan wajahnya.

"Udah-udah lu sono diem. Jijik gue liat akting lu. Mending sekarang kita fokuskan ke orang yang ngirim pesan itu. Besok kita bersiap buat ke ruang pramuka. Kita alihkan tujuan awal kita kesana."

"Ok, van" ucap mereka serempak setelah mendengar kataku.

Bertahanlah sedikit lagi.

°°°

DON'T PANIC (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang