X

852 117 0
                                    

Crasss!!!

Entah apa yang dulu Zahra perbuat, hingga keberuntungan selalu berpihak kepadanya. Gadis berambut sebahu itu kembali di selamatkan oleh seseorang. Lebih tinggi dari teman laki-lakinya dan memakai kemeja batik lengan panjang yang di singsingkan.

Devan mendekati Zahra dan membantu gadis itu berdiri.

"Cepat bawa dia!" perintah orang itu.

Devan mengangguk. Segera dia memapah Zahra hingga mereka berdua akhirnya bisa menyusul Sarah dan Angga yang sudah menunggu di depan pintu ruang Pramuka.

Beralih ke orang yang menyelamatkan Zahra tadi, dia juga mengikuti para siswa itu ke ruangan yang sama. Darah menetes di sabit yang dia genggam.

Melihat orang itu menyusul mereka berempat, Devan dan yang lain jadi merasa heran. Perasaan mereka campur aduk, berbagai spekulasi memenuhi pikiran anak-anak tersebut. Tentang siapa sebenarnya orang ini.

"Kecuali siswi itu, kalian tidak terluka kan?" ucapnya khawatir. Jika dilihat lebih dekat pria itu memiliki wajah yang cukup tampan. Usianya mungkin menginjak awal 30an.

"Oh? Bapak guru kimia baru di sekolah ini, kan?" ketiga murid lain itu menoleh ke arah Angga dan beralih menatap pria tadi.

"Ohhh kamu sudah tahu rupanya. Mungkin kita kenalannya nanti saja. Sekarang kita masuk dulu kedalam. Zombie-zombie itu pasti akan makin terusik kalau kita bicara terus di luar." Pria itu mengambil sebuah kunci dari dalam saku celananya dan membuka pintu ruang pramuka.

Rupanya didalam sana, listrik masih menyala. Terlihat sebuah mesin diesel milik sekolah berada di sudut ruangan itu. Keadaan semula mulai tenang, hingga entah kenapa sekonyong-konyong Zahra mendekati guru itu dan menamparnya begitu saja.

Masa bodoh dengan sopan santun, saat ini dia ingin mengeluarkan emosi yang sedari tadi ia simpan. Ketiga temannya hanya bisa memandang kaget melihatnya. Tak ada yang berani mencegah Zahra.

"Pasti bapak. Pasti bapak kan?! Yang menyuruh teman saya Belinda untuk mencari saya dan teman-teman yang lain. Dengar ya, gara-gara bapak.... Gara-gara bapak teman saya mati!!!" Zahra tidak bisa mengendalikan emosinya, dia kembali menangis. Devan mencoba menepuk bahu Zahra, berusaha menenangkannya. Tapi seketika di tepis oleh gadis itu. Devan tak punya pilihan, ia kembali mundur membiarkan Zahra terus mencercai pria dihadapannya.

Sementara laki-laki yang ditampar Zahra tadi masih memegangi pipinya lalu memasang ekspresi merasa bersalah. Dia diam, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan. Seolah tak percaya kalimat yang baru saja Zahra lontarkan.

"Apa?! Belinda sudah tewas?! Kamu bercanda kan?!" Dia mencengkeram bahu Zahra dan mengguncangnya perlahan. Tapi lagi-lagi gadis itu menepisnya dengan kasar.

"Bercanda?! Bagaimana bisa saya bercanda dengan kematian sahabat saya?!" bentak Zahra. Guru itu mengacak rambutnya frustasi. Pantas saja, dia tidak melihat sosok Belinda di kelompok anak ini. Jujur saja, bukan ini yang yang dia bayangkan.

"Guru macam apa anda ini, yang dengan tega membiarkan anak didiknya dalam bahaya?! Dasar bajingan!" semua orang diruangan itu terkejut mendengar umpatan Zahra. Ketiga temannya tak menyangka Zahra yang terlihat seperti gadis ramah dan ceria, rupanya bisa mengumpat juga. Ya, semua orang pasti akan jadi pribadi yang berbeda saat kehilangan orang tersayang.

"Kamu benar. Saya salah, saya tidak bisa menjaga Belinda, saya memang bukan guru yang baik. Tapi yang kamu tahu saat ini juga tidak sepenuhnya benar..."

Zahra mengernyit, bagian mana dari pernyataannya yang salah? Kalau dari perkataan kasarnya, Zahra akui dia keceplosan. Kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Dia terlampaui dikuasai emosi.

Pria itu duduk bersila, lalu menepuk-nepuk lantai, mengajak keempat anak itu untuk turut duduk bersamanya. Kalau saja kakinya tidak merasakan perih, dan Devan tak membujuknya, mungkin Zahra lebih memilih untuk tetap berdiri, "Kita dengerin dulu penjelasannya." tutur Devan dengan lembut. Gadis itu mencoba tenang mendengarkan penjelasan guru tersebut. Meski hatinya masih sakit sebab mengingat alasan kematian Belinda adalah karena ulah dari laki-laki itu. Begitu dirasa cukup tenang, mereka berempat mulai mendengar penjelasan pria tersebut dengan seksama.

"Saya memang menyarankan dia untuk mencari kalian dan orang-orang yang masih bertahan di sekolah ini. Saya tidak ada niat untuk memaksanya, jika dia tidak mau, saya tidak akan menyuruhnya. Tapi dia sendiri yang berinisiatif untuk melakukan itu. Lalu, saya mencoba membuat antibody yang sekiranya bisa menolong kita meski tergigit sekalipun. Tapi sayangnya, antibody itu belum sempurna, hanya bisa bertahan selama beberapa hari atau jam setelah serangan awal. Dan Belinda yang menjadi orang pertama yang menerima antibody tersebut. Mungkin ketika bertemu kalian, Belinda tidak menunjukkan sifat egresifnya, karena suntikan itu masih bekerja."

"Saya minta maaf kalau saya telah lalai menjaga Belinda. Kejadian yang menimpanya, sudah diluar kendali saya."

"Lalu, apa tujuan anda memerintahkan kami untuk kemari?" tanya Devan.

"Untuk menghindari kejadian serupa terulang lagi, saya ingin membantu kalian. Saya selalu berusaha agar paling tidak bisa menyelamatkan beberapa di antara murid sekolah ini yang masih bertahan. Jadi saya harap mulai sekarang, sebaiknya kita bekerja sama agar bisa keluar dari sini. Kita saling membantu supaya pengorbanan Belinda tidak menjadi sia-sia."

Keempat murid itu saling menunduk. Dia memang benar, mungkin saat ini jalan satu-satunya agar mereka bisa bertahan adalah bekerja sama. Keempat murid itu memang butuh bimbingan orang dewasa agar pilihan yang mereka ambil nanti tidak salah, dan tak membahayakan nyawa di antara mereka lagi.

"Baik, pak. Kami mohon bantuan bapak." ujar Devan dengan tenang.

"S-saya juga minta maaf. Karena sempat terbawa emosi, saya jadi menampar bapak tadi." Zahra membungkuk sebagai bentuk ucapan permintaan maafnya. Pria itu tersenyum. Dia memaklumi tindakan muridnya, karena jika dia ada di posisi siswi itu, mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama.

"Devan, kamu benar-benar belum pernah melihat bapak? Kamu tidak ingat siapa saya?" Devan memiringkan kepala, mengamati wajah guru itu. Dari awal dia juga merasa tidak asing dengan wajahnya. Tapi dimana kira-kira dia melihatnya?

"Saya... Tidak tahu, tapi wajah bapak memang terlihat tidak asing di mata saya."

"Kamu tahu jurnal milik profesor Dellen?"

Devan mengernyit, bagaimana pria itu tahu nama ayahnya?
"Kok bapak tahu nama dan jurnal ayah saya?"

Pria itu menghela nafas perlahan. "Sebelum ayah kamu meninggal, beliau adalah mentor saya. Dia juga yang memberitahu saya tentang jurnal miliknya."

Setelah Devan ingat-ingat lagi, dia pernah melihat wajah guru itu di foto yang tersimpan dalam jurnal ayahnya. Bagaimana Devan bisa mengetahui jurnal itu?

Beberapa hari setelah kematian sang ayah, Devan memasuki ruang kerjanya, niatnya semula hanya untuk mengenang momen saat ayahnya masih ada. Namun pandangan anak itu terusik ketika ia melihat sebuah jurnal milik sang ayah. Dia membuka halaman demi halaman lalu menemukan satu fakta tentang penelitian yang selama ini ayahnya kerjakan.

Project DL-05

Dari sana ia bertekad untuk mencari tahu apakah benar kebakaran laboratorium yang menyebabkan ayahnya tewas, ada kaitannya dengan penelitian tersebut.

°°°



DON'T PANIC (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang