VII

872 114 1
                                    

Zahra menatapku heran. Dia seperti terlihat kesal karena sudah seenak jidat aku menarik lengannya hingga menjauh dari Belinda.

"Apaan sih kamu ini?!" Zahra menepis genggaman tanganku.

"Jangan dekati dia ra, dia.... Dia sudah terinfeksi. Aku lihat, ada bekas gigitan di lehernya." aku berusaha mengontrol emosiku. Arghh.... Kenapa dengan tanganku ini?! Berhenti gemetar! Aku tidak takut! Aku hanya terkejut. Iya, benar. Aku tidak boleh takut. Si Belinda itu. Dia hanya anak murid biasa. Meski dia berubah sekalipun kami tetap bisa melawannya. Toh, kami berdua juga membawa senjata. Oke, aku tidak boleh takut.

Mendengar ucapanku tadi Belinda langsung tersentak. segera dia merapikan kembali rambutnya kebelakang berusaha menutupi bekas itu agar tidak diketahui oleh temannya. Licik. Tapi tetap saja, sedalam apapun dia mengubur bangkai, cepat atau lambat baunya tetap akan tercium juga, kan?

"Eh?! Ng-nggak kok. Ini.... bukan bekas gigitan. Ini cuma... Cuma... Luka biasa. Iya, cuma lecet aja gara-gara jatuh kemarin. Devan! Kamu jangan sembarangan nuduh dong! Hiks.... Kalau aku memang tergigit, sudah pasti aku tidak akan menemui Zahra. Dia kan sahabatku. Aku tidak akan menyakitinya. Hiks...." Belinda menangis. Cuih. Queen drama rupanya. Dia kira aku akan kasihan melihatnya menangis begitu? Tidak akan. Karena memang aku yang benar dan dia yang berbohong. Aku tahu jelas bagaimana bentuk luka gigitan dengan luka jatuh itu seperti apa. Dia pikir aku ini bodoh?

Aku menengok ke arah Zahra. Dia terlihat bingung, siapa yang harus dia percayai. Aku pun berusaha untuk membuat dia percaya padaku. Meski si Belinda itu sahabatnya bahkan dari mereka bayi pun-mungkin tidak juga, tapi Zahra tidak boleh mempercayainya. Oh ayolah. Dia harus memikirkan dirinya sendiri saat ini.

"Zahra! Percaya padaku! Aku kan sahabatmu! Kamu pasti lebih percaya dengan sahabatmu ini kan? Lagian kamu juga baru kenal dia, kenapa percaya padanya?" Belinda menunjuk ke arahku.

Hmmm.... Memang benar, aku baru mengenal Zahra beberapa minggu ini. Tapi bukankah sudah tugas ku sebagai manusia untuk menolong orang lain? Awalnya aku tidak ingin ikut campur urusan mereka. Tapi jika aku diam saja, itu sama halnya dengan membiarkan Zahra mendekati bahaya. Ibarat ketika dirimu melihat seseorang yang akan melompat ke dalam jurang, tapi kamu hanya menontonnya saja. Aku tidak ingin menjadi orang yang seperti itu. Yahhh.... Meski kadang aku memang sedikit egois jika menyangkut hal lain.

"Van, apa salahnya kita percayai dia dulu? Aku tahu kita sedang dalam keadaan berbahaya, tapi gak sepantasnya mengasingkan dan menuduh orang lain tanpa bukti seperti itu. Apalagi dia itu sahabatku van, aku gak bisa menuduhnya begitu aja. Kamu gak akan ngerti gimana rasanya kehilangan orang yang dari kecil selalu sama kamu. Sekarang yang kupunya mungkin hanya Belinda. Aku gak tahu apakah di luar sana orang tuaku masih hidup atau sudah bergabung dengan para makhluk ini." bibir Zahra bergetar. Dia berusaha untuk menahan tangisnya. Sementara Belinda makin terisak. Tapi Zahra tidak lantas merangkul Belinda dan memeluknya seperti tadi. Dia hanya memandang sahabatnya itu. Ada keraguan dalam tatapannya. Harus ku katakan ini bagus, sebab Zahra mulai sedikit waspada terhadap Belinda.

"Oke. Kamu mau bukti, kan? Kalau begitu, kita lihat luka Belinda yang ada di leher tadi. Mumpung kita sedang di UKS sekarang. Sekalian saja kita obati. Bukan begitu Belinda?" aku tersenyum miring. Apa yang dikatakan Zahra tadi tidak akan membuatku luluh. Aku bukan laki-laki manis yang akan tersentuh ketika mendengar cerita mellow seperti itu. Aku memang kasihan melihat Zahra, tapi bukankah kami semua juga memiliki nasib yang sama? Kami juga khawatir akan keadaan keluarga kami.

"Hah? Ng-nggak usah. Gak papa, lukanya udah mendingan kok. Nanti biar aku obati sendiri aja. Hehe. Udah kalian lanjut beberes sana." Belinda melangkah mundur. Dia berbalik membelakangi kami. Sok sibuk melipat sprei ranjang yang bahkan tidak ada gunanya dilipat.

"Akhhh!!! Sudah cukup! Aku tidak tahan lagi." aku geram mendengar segala alasannya, segera kubalikkan tubuh Belinda agar menghadapku. Tapi tiba-tiba saja tubuhnya gemetar. Guratan-guratan aneh mulai muncul di seluruh wajahnya. Matanya juga memutih. Sontak, Aku mundur secara perlahan.

Nah, kan apa yang kubilang tadi.

"Ke-kenapa dengan tubuhku?! Rasanya s-sakiit... Akh! Tidak! Aku tidak mau menjadi monster! Tidak! Ti-rghhhh...." suara Belinda sudah berubah serak, begitupun wujudnya. Tatapannya kosong.

Zahra yang juga menyaksikan itu, bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Air mata menetes membasahi pipinya. Belinda sudah tiada dengan cepat. Yang dihadapan kami sekarang adalah sekumpulan virus yang telah berhasil menguasai tubuhnya.

Dengan gerakan cepat dia mendekati Zahra. Zahra yang belum siap menghindar akhirnya terjatuh dengan tubuh Belinda berada di atasnya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk melepas cengkeraman Belinda dari bahunya.

Aku mencoba untuk membantu Zahra tapi yang kudapatkan malah dorongan kuat dari Belinda. Membuatku tersungkur dan terantuk meja penuh obat-obatan dengan keras. Jika sudah berubah, tenaganya kuat sekali. Aku mencoba bangkit, namun pandanganku kabur. Tubuhku linglung. Aku hanya bisa terduduk memandangi usaha keras Zahra yang masih menjauhkan tubuhnya dari Belinda.

Kumohon, seseorang tolong kami!!!

Crasss!!!

Darah mengucur deras.

°°°

DON'T PANIC (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang