XV

751 91 1
                                    

Semua terdiam mendengar cerita Harris barusan. Sedih dan kecewa bercampur dalam benak keempat murid dihadapannya. Mau marah pun rasanya juga percuma. Waktu tidak bisa mereka putar kembali.

"Sampai sekarang saya selalu menyesali perbuatan saya waktu itu. Karena saya, nyawa orang-orang tak bersalah jadi melayang sia-sia." Harris mengusap wajahnya. Membetulkan letak kacamatanya, "Saya benar-benar minta maaf."

"Nasi sudah menjadi bubur pak. Jika bapak mau bertanggung jawab, maka kami akan membantu bapak." ujar Zahra sedikit parau, manik matanya mulai berkaca-kaca.

"Saya benar-benar egois. Saya hanya mementingkan posisi saya waktu itu tanpa memperhatikan akibat yang akan terjadi disebabkan kecerobohan saya sendiri. Kalian memang pantas kecewa dan marah kepada saya."

Angga tersenyum miring, "Bapak tahu gak, rasanya saya mau memukul bapak saat ini juga. Tapi bapak beruntung, berkat Devan yang telah memukul saya lebih dulu, saya tidak jadi melakukannya. Membuang-buang waktu dan tenaga saja." Angga tiba-tiba beranjak, Sarah yang juga melihat itu berusaha untuk memanggilnya, "Angga—" gadis tersebut hendak menyusul juga, namun tindakannya segera di tahan oleh Zahra, "Biarin dia sendiri dulu."

Kini Zahra beralih pada Devan yang masih termenung, sedari tadi ia memperhatikan pria itu tampak sangat frustasi, Zahra mendekat. Seperti biasa ia menepuk pundak pemuda tersebut, "Nanti kamu harus minta maaf sama Angga ya. Kamu kan udah mukul dia." Devan lantas menoleh memandang Zahra, tatapannya seolah tak terima, "Tapi dia yang mulai—"

"Aku tahu. Tapi kalau salah satu dari kalian gak ada yang mau minta maaf, keadaan bisa jadi makin tegang. Ingat, kamu ketua grup ini. Sebagai seorang pemimpin, kamu harus bisa memahami kondisi anggota kamu dengan bijak. Lagipula, kalian berdua sama-sama salah, kan?"

Devan berdiri, menyamai tingginya dengan Zahra, "Dari awal juga aku gak mau jadi ketua di grup aneh ini." setelah berkata demikian Devan turut melenggang pergi.

Zahra menghela nafasnya pelan, ia kini turut merasakan frustasi, kenapa jadi gini sih?!

---

Awan di atas langit biru sana bergerak perlahan. Tanda bahwa waktu terus berjalan. Ini pertama kalinya bagi Angga, duduk termenung tanpa memikirkan apa-apa. Berkali-kali helaan nafas keluar dari mulutnya yang terluka. Jujur saja, ia merasa bersalah telah mencemooh Devan, dia akui ucapannya kelewatan. Pemuda humoris itu terbersit dalam hati ingin meminta maaf. Namun rasa gengsi berhasil menguasai dirinya.

Di saat Angga masih bingung memikirkan cara yang tepat untuk meminta maaf pada Devan, laki-laki yang baru saja ia pikirkan itu kini muncul tiba-tiba dan telah memgambil sisi tepat di samping kiri Angga. Pemuda itu melirik sekilas, dengusan kasar ia keluarkan, "Ngapain lo disini?!"

"Yang nemuin tempat ini pertama kali kan gue, terserah gue dong." balas Devan. Keduanya kembali terdiam. Angga mengulum bibirnya, ia hendak berujar sesuatu namun kalimatnya seolah tak bisa dia keluarkan. Dia menghela nafas panjang, ayolah hanya meminta maaf kenapa sesulit itu?

"Anu... Van. Gue... Minta maaf—"

"Gue minta maaf."

Keduanya berujar serempak. Menimbulkan kekehan kecil di antara mereka, Angga melanjutkan lebih dulu, "Gue baru sadar. Gak seharusnya gue ngomong kasar ke lo di saat lo mungkin masih terpuruk sama kepergian bokap lo." Devan tersenyum tipis menanggapi, "Gue juga minta maaf udah mukul lo tadi, gue udah kebawa emosi."

"Gue paham lo mau mencoba membela bokap lo." kini Angga merangkul tubuh Devan, "jadi, kita baikan nih?" yang di tanya justru mendecih, "Siapa bilang, di mata gue lo masih nyebelin." Devan segera menyingkirkan lengan Angga dari bahunya, ia berdiri kemudian melenggang pergi, meninggalkan Angga yang kembali mengerucutkan bibir. Yah, setidaknya kedua pemuda itu sudah kembali seperti sebelumnya.

Namun baru beberapa langkah Devan berjalan, Sarah dengan tergopoh-gopoh dan nafas yang memburu datang menghampiri mereka berdua.

"Para zombie itu, sekarang udah berhasil mecahin kaca jendela depan."

°°°



DON'T PANIC (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang