Aina duduk di tepi kasur sambil menatap ke arah balkon setelah langkah kakinya ia hentakkan berkali-kali.Siang ini ternyata tidak cukup panas untuk sekadar berdiri di pinggir jalan disertai deru napas yang sudah lelah karena menunggu angkutan umum yang tidak kunjung datang.
Aina masih bisa menahan panas alami yang berasal dari alam, namun entah mengapa dirinya tidak bisa menahan panas ketika berada di toko buku tadi. Padahal, AC terasa cukup dingin untuk ukuran orang normal.
Tetapi saat itu, Aina bukanlah orang yang normal.
"Lo kenapa pulang duluan?"
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka hingga memberi celah Bondan untuk masuk.
"Terserah gue, lah!" jawabnya sengit sebelum berdiri dan mulai melangkahkan kakinya ke arah balkon.
"Lah, kok, sewot?"
Aina berdecih, ia melirik Bondan sekilas sebelum tubuhnya menghadap tepat pada kamar Bondan. Seketika bayangan mengenai kemarin malam langsung terlintas di benaknya.
Teriakan serta ucapan yang begitu menggebu cukup membuktikan apa yang dikatakan Sabang adalah sebuah kebenaran.
Cowok itu akan melakukan sebuah pembuktian? Ah, Aina menjadi tidak yakin setelah melihat seorang gadis yang berada di samping Sabang.
Bukankah cowok itu ingin membuktikan bahwa dia bisa menggeser ingatan Aina mengenai Dion?
Sabang mengatakannya sendiri, dan Aina sebagai seorang perempuan hanya bisa melihat apa yang sudah diucapkan Sabang.
Dia patut mempertanggung jawabkan kalimatnya.
"Lo cemburu ya, lihat Sabang sama cewek lain?"
"Kata siapa? Jangan ngarang!"
Bondan menghembuskan napasnya pelan, Aina masih saja berdalih dengan mengatakan hal yang membuat Bondan semakin yakin dengan pertanyaannya. Aina cemburu.
"Gue ngomong berdasarkan riset, Na."
Aina mengernyit, ia menoleh ke arah Bondan seraya menggerutu pelan setelah Bondan kembali mengatakan, "kalau gue lihat dari raut wajah lo sih, kelihatan banget kalau nggak suka sama cewek yang sama Sabang tadi."
"Nggak usah ngadi-ngadi deh, Kak."
"Mulut bisa berbohong, tapi tatapan mata jelas tidak bisa menampik."
Dalam hati, Aina sudah ingin menyumpahi Bondan dengan nama-nama binatang. Sumpah demi apapun, cowok itu semakin membuat mood-nya tidak stabil.
Bisa-bisanya Bondan mengatakan jika sorot mata Aina tengah meluapkan sebuah isyarat rasa cemburu. Sedangkan mulut justru mengatakan sebaliknya.
Darimana Bondan tahu tentang teori seorang cewek gengsi?
"Mending Kak Bondan pulang, kepala gue pusing kalau bahas itu terus," sungut Aina sebelum kedua tangannya ikut mendorong punggung Bondan agar segera menjauh dari hadapannya.
Semakin menggebu Aina untuk mencoba mengusir Bondan, semakin kuat pula keyakinan Bondan atas apa yang ia pertanyakan tadi. "Jujur dulu sama gue Na, lo cemburu, kan?"
"Enggak!"
Bondan jelas tidak akan percaya dengan kalimat itu. Dirinya sudah berkali-kali menghadapi seorang gadis yang memiliki gengsi begitu tinggi. Termasuk Aina.
"Buruan pulang sana, atau mau gue aduin sama Tante Vanya?!"
Bukannya menciut seraya membalikkan badan dan bergegas pergi, Bondan justru memilih diam sembari masih berdiri. "Mera cuma teman, dia memang dekat sama Sabang. Bahkan sama gue pun juga dekat, karena kita satu organisasi dan kebetulan juga satu kelas."
Aina tidak pura-pura tuli, dirinya mendengar apa yang Bondan ucapkan. Hanya saja gadis itu pintar memainkan gestur tubuh untuk tidak terlihat penasaran.
"Sabang sering keluar bareng sama Mera, tapi sampai saat ini yang gue tahu mereka cuma keluar kalau ada urusan soal sekolah," lanjut Bondan sebelum Aina merespon ucapannya.
"Memang tadi ada urusan sekolah?"
Ucapan Aina seketika menarik perhatian Bondan, cowok itu tersenyum miring sembari mencoba menjelaskan apa yang ia katakan tadi. "Mereka tadi kan ada di toko buku Na, siapa tahu ada keperluan apa gitu."
"Sekalinya cemburu bilang aja cemburu," lanjut Bondan.
Aina melotot tajam, kedua tangannya mulai aktif mendorong punggung Bondan seolah tengah mengusir cowok itu.
"Dih apaan sih, mending keluar sana nggak usah masuk lagi ke kamar ku!" sungutnya sebelum pintu kamar ia tutup rapat-rapat.
Aina mendesah pelan di tempatnya bersandar, di balik pintu kamarnya ia yakin jika Bondan masih mencoba mencari tahu tentang ekspresinya tadi.
Akan tetapi, Aina tidak suka ada orang yang mencari tahu tentang ekspresi wajahnya.
Entahlah, antara menjaga atau memang takut ketahuan jika apa yang Bondan katakan memang benar. Cemburu.
Ah, sekarang pikiran Aina menjadi bercabang.
Gadis itu lantas memilih berbaring, tangannya ia gerakkan untuk mengambil ponsel yang tergeletak di nakas.Lima menit berkutat dengan benda pipih itu, Aina baru menyadari jika ada satu direct message dari nama pengguna akun yang tidak asing baginya.
"Ngapain dia DM segala, sih?" gumamnya masih dengan posisi tiduran.
Mahardika.sabang
Tadi lo lihat gue sama Mera?
Sepertinya Aina harus membaca pesan tersebut berulang kali. Dirinya masih mencoba mempercayai jika apa yang ia lihat saat ini memang satu pesan dari Sabang.
Iya, Sabang---cowok yang membuatnya menggerutu dan memilih untuk keluar toko terlebih dahulu.
Sial, Aina membuka kedoknya.
Aina.yasmine
Engga, tuh.
Ada rasa penasaran saat pertama kali melihat Sabang berjalan beriringan bersama Mera. Ia masih mengingat jelas jika koridor utama adalah tempat yang membuatnya bertanya-tanya dengan hubungan mereka.
Lalu, di tepi lapangan. Aina semakin dibuat yakin dengan hubungan keduanya saat melihat Mera begitu perhatian pada Sabang.
Dan hari ini, Aina kembali dibuat bingung dan yakin di saat yang bersamaan.
Di satu sisi ia bingung dengan apa yang mendasari hubungan mereka. Namun di sisi lain dia juga yakin bila Sabang memiliki hubungan spesial dengan Mera.
"Astaga, kenapa harus ketemu di waktu yang nggak tepat, sih?!"
Aina mengubah posisinya menjadi duduk, sekali lagi ia membaca pesan yang dikirim oleh Sabang.
Mahardika.sabang
Boong dosa.
Sabang patut tidak percaya, gadis itu bahkan mengatakan hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.
Sabang masih yakin dengan ucapan Bondan jika Aina memang berada di satu tempat yang sama dengannya.
Aina.yasmine
Y
Di tempat lain, Sabang masih mencoba sabar. Sikap gadis itu sangat berbeda ketika bersama dengan Dion dan bersama dengannya.
Lebih tepatnya, Aina sengaja membuatnya hilang kesabaran.
Mahardika.sabang
Kalau tadi ada di sana, kenapa nggak nyapa? Kenapa harus keluar duluan?
"Lah, kok dia jadi kepo," gumam Aina sebelum membalas pesan tersebut dan setelahnya ia memilih berbaring lagi.
Aina.yasmine
Cari udara segar, di dalam panas soalnya.
Aina mematikan ponselnya, ia tak mau lagi mendapat pertanyaan dari Sabang yang nantinya akan membuat ia menyesal setelah menjawabnya.
"Ini kenapa kamar gue ikutan panas segala, sih? AC rusak lagi atau gimana?"
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Note [TERBIT]✅
Teen Fiction[TELAH TERBIT] Gara-gara satu sticky note yang tertempel di motornya pada hari Senin, membuat Sabang beranggapan jika dirinya memiliki seorang pengagum rahasia. Bukannya ingin menyombongkan diri atau apalah itu ... tapi sudah sangat jelas jika di...