Jika dilihat dari raut wajahnya, Sabang terlihat mengatakan kebenaran. Matanya tidak bisa berbohong saat melihat Aina, begitu berbeda seperti yang Dion tunjukkan tadi.Namun, Aina tidak mudah untuk terpikat. Kali ini dirinya harus bisa mencegah jantungnya agar tidak berdegup kencang seperti kemarin.
Iya, Aina harus meyakinkan dirinya sendiri.
Dengan mengambil napas dalam-dalam, gadis itu pun lantas memberanikan dirinya menatap Sabang dengan tatapan sinis.
"Seorang Sabang yang terkenal cerdas, jujur, bertanggung jawab dan disiplin, berani mengambil keputusan dengan membenarkan sebuah kebohongan?"
Sabang sedikit tercengang, ia baru tahu jika dirinya terkenal seperti apa yang Aina katakan.
Selama ini, ia pikir ... hanya orang terdekatnya saja yang tahu mengenai sikapnya. Tapi Aina, tahu darimana?
"Wah, panutan sekali Anda," lanjut gadis itu diakhiri dengan senyuman miring yang tercetak jelas di bibirnya.
"Tidak masalah jika itu menyangkut perasaan."
Sabang mengatakan apa adanya, jika soal hati ia tidak peduli dengan sindiran orang-orang. Apalagi tentang sebuah kebohongan.
Maaf, jika Sabang melakukan hal yang salah.
"Saat ini lo boleh berbangga dengan keegoisan lo, tapi kita lihat hasilnya nanti setelah gue melakukan apa yang harus diusahakan."
Aina mengernyit, ia berdecih pelan sebelum meninggalkan Sabang yang masih setia berdiri di sana sembari memandangi punggung Aina yang mulai menjauh "Cowok aneh!"
-----
Tujuan Bondan mengajak Sabang untuk berkunjung ke rumahnya, tidak lain untuk melihat Aina dari lantai dua kamarnya.
Sabang tidak yakin dengan pernyataan yang dilontarkan Bondan saat itu, akan tetapi apa salahnya mencoba percaya dengan seorang sahabat yang sudah mengenalnya kurang lebih dua tahun.
"Gue nggak bohong, Bang," ucap Bondan mencoba untuk meyakinkan Sabang ketika keduanya sudah berjalan naik ke lantai dua. Tepatnya di kamar Bondan yang katanya terletak berseberangan dengan kamar Aina.
Jika itu sebuah kebenaran, Sabang tidak masalah. Toh ia tahu setelah melihat bangunan rumah mereka yang cukup dekat, kemungkinan untuk bersebelahan kamar pun juga pasti ada.
"Biasanya Aina selalu buka gorden kamarnya kalau gue teriakin dari sini," ucap Bondan lagi ketika keduanya sudah sampai di balkon.
"Kalau lo teriak, memangnya nggak ganggu orang?"
"Santai aja, orang tua gue nggak bakal marah, kok."
Jam dipergelangan Sabang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, jika di rumahnya sendiri mungkin akan sedikit mengganggu adiknya yang baru saja tertidur.
"Eh, kayanya nggak perlu deh, Bon," sahut Sabang secara tiba-tiba, karena merasa masih ragu dengan tindakan yang akan dilakukan Bondan.
"Kenapa? Lo masih menjaga image setelah ketahuan stalking akunnya Aina?"
Dengan gerakan reflek, Sabang langsung menoleh ke arah cowok itu sembari berdecih pelan, "sialan, masih inget aja lo."
"Cih, hari gini masih aja jaim di depan cewek? Lemah banget lo jadi cowok."
Penghinaan. Sejak kapan Sabang terlihat lemah jika kenyataan yang sebenarnya ia tidak pernah pdkt dengan seorang perempuan?
Statement Bondan memang tidak akurat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Note [TERBIT]✅
Ficção Adolescente[TELAH TERBIT] Gara-gara satu sticky note yang tertempel di motornya pada hari Senin, membuat Sabang beranggapan jika dirinya memiliki seorang pengagum rahasia. Bukannya ingin menyombongkan diri atau apalah itu ... tapi sudah sangat jelas jika di...