"Makasih Bon, atas tumpangannya.""Yoi."
Hari ini, Sabang terpaksa pulang malam lantaran masih ada beberapa keperluan yang dibahas bersama anggota tim basket pasca kemenangan mereka tempo hari.
Dirinya diantar oleh Bondan, mengingat kakinya masih dalam tahap pemulihan.
Pertandingan kemarin benar-benar membuat Sabang limbung. Untung Bondan bisa mengatasi anggota tim yang lain dengan mengeluarkan skill yang ia kuasai saat ini.
Hasilnya, sekolah mereka yang menjadi juara.
"Besok acara bokap lo, jadi, kan?"
"Iya, awas kalau sampai nggak datang."
"Tenang aja Bang, gue bakal datang kok, sama Dion," jawab Bondan sebelum menyengir serta menarik turunkan kedua alisnya. "Sama Aina juga, hehe."
Sabang mengernyit, mendengar ucapan Bondan membuat dirinya kembali mempertanyakan perihal Aina yang belum ia beritahu soal acara esok hari.
Entah karena apa, namun Sabang sangat ingin gadis itu datang. Walau hanya sekadar melihatnya dari samping, Sabang tidak akan mempermasalahkan nya.
Tapi sepertinya, Sabang memiliki teman yang begitu pengertian dengannya. Bondan seakan tahu isi hati Sabang saat ini, dan cowok itu juga terlihat antusias saat menyebutkan nama Aina.
Ya, itu memang yang Sabang mau. Aina datang.
"Gue masuk dulu, Bon."
Setelah beberapa menit sempat terdiam lantaran memikirkan hal apa saja yang terjadi saat Aina benar-benar menyetujui ajakan Bondan, Sabang lantas memilih untuk bergegas pergi.
Kaki kanannya masih terasa nyeri, walau hanya sedikit namun Sabang belum bisa berjalan normal seperti biasanya.
"Loh, Sabang, baru pulang?"
Merasa jika namanya dipanggil, Sabang lantas mendongak. Ia baru menyadari jika Farhan---ayah dari Mera baru saja berkunjung ke rumahnya.
Ia mencoba tersenyum ramah, tidak lupa anggukan kepala disertai ungkapan, "iya." yang lumayan pelan.
"Mera sudah pulang dari tadi loh, kamu habis kemana aja?"
Sabang melirik ke arah Mahardika, pria yang menyandang sebagai ayahnya itu hanya melihat interaksi kedua orang di depannya tanpa merespon apa yang rekan bisnisnya tanyakan pada Sabang.
"Masih ada urusan di sekolah."
"Nggak mungkin, bukannya kalau ada urusan di sekolah selalu bareng sama Mera? Kalian kan, satu organisasi."
Sabang masih diam.
Pria itu pun menoleh ke arah Mahardika, "Pak Mahardika, tolong anaknya dikasih tahu buat nggak pulang terlalu malam."
"Kalau terus-terusan dibiarkan, nanti kebiasaan, loh. Apalagi sampai pulang jam segini," lanjut Farhan seraya menatap jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.
"Sabang masih ada urusan dengan tim basketnya Pak, makanya dia pulang larut. Saya nggak bisa larang kalau itu menyangkut kegiatan dia."
Saat ini lebih baik Sabang menjadi pendengar saja. Dirinya tidak mau ikut campur sebelum ayahnya ataupun Farhan menyenggolnya terlebih dahulu.
"Hati-hati, jangan sampai Anda ditipu sama anak sendiri. Anda tahu kan, bagaimana pergaulan anak jaman sekarang? Yang pamitnya masih ada urusan di sekolah, tapi nyatanya malah pergi nongkrong sama teman-temannya---"
Oke, sepertinya ucapan Farhan sudah mulai tidak jelas. Langkah kaki yang sejak tadi sudah ingin menjauh justru Sabang urungkan lantaran ucapan Farhan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Note [TERBIT]✅
Teen Fiction[TELAH TERBIT] Gara-gara satu sticky note yang tertempel di motornya pada hari Senin, membuat Sabang beranggapan jika dirinya memiliki seorang pengagum rahasia. Bukannya ingin menyombongkan diri atau apalah itu ... tapi sudah sangat jelas jika di...