4. Menerima Sapaan

483 57 2
                                    


Menurut Sabang, jam terakhir di kelasnya kali ini selesai begitu cepat. Ia tidak sadar bila beberapa temannya sudah menggerutu tatkala Pak Guntur masih setia dengan pembelajarannya.

Sabang tidak masalah jika pria yang umurnya sudah tidak bisa dibilang muda itu mengajar di kelasnya lebih lama lagi. Toh, dia begitu menikmati setiap kali Pak Guntur bercerita mengenai sejarah Indonesia walau suaranya sudah ngos-ngosan.

Jika mengingat beberapa menit lalu, Sabang menjadi prihatin dengan pria itu. Jarang sekali ada yang mendengarkan ucapan Pak Guntur, termasuk Bondan yang sejak tadi diam-diam memainkan ponselnya di bawah laci meja.

Itukah yang dibilang menghargai seorang guru?

Menurut Sabang, itu bukanlah jalan ninja untuk mengakhiri sebuah pertemuan yang mungkin satu Minggu sekali bisa dimanfaatkan Pak Guntur untuk berbagai ilmu.

"Kira-kira, dia kapan pensiun, ya?" Keluar dari kelas, keduanya berjalan bersisihan ... menuju koridor kelas sebelas untuk menunggu Dion terlebih dahulu.

Mendengar ucapan pemuda di sampingnya, Sabang langsung melihatnya sinis seraya menggelengkan kepalanya.

Semua teman sekelasnya berharap jika Pak Guntur segera pensiun agar tidak menjadi guru sejarah lagi.

"Lo salah besar nanya ke gue," jawab Sabang setelah keduanya duduk di bangku yang terletak di depan kelas Dion.

Sabang memang tidak tahu kapan dan mengapa Pak Guntur belum pensiun. Terkadang ia juga memikirkan mengenai pria itu. Bagaimana beliau yang setiap harinya harus datang dan pulang hanya dengan bermodalkan motor tuanya, lalu sesampainya di sekolah ... kehadirannya justru tidak dinanti-nanti oleh kebanyakan murid.

Oh, ayolah. Itu guru kalian.

For your information saja, jika Pak Guntur itu cukup populer pada masanya. Atau bisa dibilang masa ayah bundanya dulu masih duduk si bangku SMA.

"Heiyo, what's up, geng!" Suara yang tiba-tiba saja nimbrung, diikuti sang pemilik yang sudah menyengir lebar setelah memudarkan raut datarnya, kini dalam sekejap mengagetkan Sabang yang sejak tadi hanya menatap beberapa teman sekelas Dion yang sudah keluar dari kelas.

Ia mendongak, menatap jengah sembari mengangkat bokongnya untuk meninggalkan kedua pemuda di depannya. Dion dan juga Bondan.

"Bro, Sabang! Tungguin!"

Itu suara Dion, bukan Bondan.

Sabang bahkan sangat hapal tatkala pemuda itu selalu memanggilnya dengan suara yang menggema setiap sepulang sekolah, seperti saat ini.

Jika sekarang banyak orang yang berlalu lalang seperti sepuluh menit yang lalu, mungkin Dion hanya bisa menunjukkan aura dinginnya seraya kicep ketika melihat pelototan yang ditunjukkan Sabang ke arahnya.

Sekarang? Tidak lagi.

Teriakan Dion tidak bisa dikontrol kala melihat area koridor kelas sebelas sudah mulai sepi. Dan jangan bertanya mengapa cowok itu langsung sumringah dan tidak lagi menunjukkan raut datarnya.

Karena Dion memiliki dua kepribadian yang hanya ia tunjukkan pada orang terdekatnya saja.

Aneh memang, ketika orang lain memandang Dion sebagai cowok yang cool dan berhati dingin, namun dalam hitungan detik dapat berubah ketika bertemu dengan kedua sahabatnya ini.

"Yon, gosip yang beredar itu benar, ya? Dania nembak lo?" tanya Bondan ketika ketiganya berjalan berisisihan ke parkiran.

Dion melirik Bondan sekilas, lalu menghela napasnya ... seakan ada rasa lelah untuk menjawab pertanyaan serupa dengan ucapan Bondan tadi.

Sticky Note [TERBIT]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang