"Oh.. gitu ya, sekarang, mainnya rahasia-rahasiaan."Sabang yang awalnya hendak duduk di bangkunya, tiba-tiba saja berhenti dan berbalik badan kala suara Bondan mengintrupsi indera pendengarannya.
"Ngomong sama gue?" tanya Sabang.
Bondan mendengus, pemuda itu lantas mengambil duduk terlebih dahulu di bangkunya sebelum Sabang mengetahui jawaban atas pertanyaannya tadi.
"Ngomong sama tembok!"
"Tadinya gue pikir, lo lagi nyindir seseorang," sahut Sabang setelah ikut duduk di samping Bondan.
"Menurut lo?! Ya, kali gue ngomong sama tembok!"
"Lah, kok ngegas?"
"Pagi-pagi jangan bikin emosi, deh," gumam Bondan seraya berdecih, hingga membuat kening Sabang berkerut bingung.
Sumpah demi apapun, Sabang tidak tahu apa-apa tentang hal yang ada di pikiran Bondan saat ini.
Sejak awal dirinya memang menyadari kalau cowok itu tengah menyindir seseorang, dan bisa dipastikan pula Bondan tidak berbicara dengan tembok seperti apa yang tadi ia bilang.
"Siapa juga yang buat lo emosi? Nggak jelas banget."
Menurut Sabang, temannya satu itu memang tidak jelas. Bahkan di pagi yang begitu cerah seperti sekarang, tidak biasanya Bondan menunjukkan ekspresi kesalnya.
Ada apa? Apakah Sabang telah menyinggungnya?
Berpikir sejenak dengan otaknya, tiba-tiba saja kepala Sabang dibuat mendongak saat ada suara langkah sepatu mendekat ke arahnya.
Awalnya, Sabang pikir Mera atau temannya yang lain. Namun setelah ia mengamati dari sepatu yang dipakai orang tersebut, perasaan Sabang mulai tidak enak, ingin rasanya ia menjauh dari sana.
"Apa kabar, brother? Gimana hari ini, Sehat-sehat, kan?"
Mimpi apa dirinya semalam, pagi-pagi sudah diteror pertanyaan seperti itu dengan Dion. Ia jengah, apalagi yang ditanyakan tidak jauh-jauh dari sang adik. "Kemarin Sabrina nge-chat gue duluan, gila seneng banget."
"Lebay lo, kaya nggak pernah di-chat sama cewek aja," sahut Bondan dengan nada meremehkan.
"Diam lo, tukang seblak nggak usah ikut campur!"
Merasa tersinggung dengan ucapan yang dilontarkan Dion, Bondan lantas menatap nyalang pemuda itu dengan suara yang meninggi. "Jangan macam-macam lo sama tukang seblak, gini-gini bokap gue udah punya sepuluh cabang!"
"Sepuluh doang, bokap gue punya dua puluh outlet ayam geprek! Mau apa lo?!"
Sabang menghela napas panjang, ia sudah bisa menebak arah perdebatan mereka berdua akan kemana.
Bahkan sebelum Dion melontarkan ucapan berupa outlet milik Ayahnya, Sabang sudah bisa menebak jika akhir dari percakapan mereka adalah baku hantam.
Canda baku hantam.
Hanya dirinya yang waras di antara kedua orang bar-bar di sampingnya ini.
Mereka tidak tahu bagaimana menderitanya Sabang selama ini, baik Dion maupun Bondan tidak akan pernah merasakan bagaimana rasa malu ketika banyak pasang mata mengarah kepada mereka.
"Jangan main-main sama gue, lo belum tahu kan gimana rasanya panas dan pedas kuah seblak kalau mendarat di pantat lo?!" sungut Bondan seraya menggulung lengan kemejanya, bersiap untuk berjalan ke samping Dion.
"Lo juga nggak tahu kan gimana rasanya mulut lo yang lemes itu gue geprek?!"
"Yang merasa waras tolong mengalah," ujar Sabang saat Bondan sudah bangkit berdiri. Pemuda itu ingin memberi Dion sedikit oleh-oleh sebelum keluar dari kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Note [TERBIT]✅
Teen Fiction[TELAH TERBIT] Gara-gara satu sticky note yang tertempel di motornya pada hari Senin, membuat Sabang beranggapan jika dirinya memiliki seorang pengagum rahasia. Bukannya ingin menyombongkan diri atau apalah itu ... tapi sudah sangat jelas jika di...