"Kok, lo nyalahin gue sih, Fin? Gue kan, nggak ada maksud apapun selain bikin dia ngerti."Setelah mengatakan hal yang terjadi kemarin pada Fina, seketika itu juga Aina langsung mendapat pelototan tajam dari sahabatnya.
Ia tidak tahu mengapa Fina sangat frustasi kala Aina keceplosan mengatakan perasaannya yang sebenarnya dengan Dion. Seolah gadis itu tidak mau jika Sabang marah gara-gara ucapan Aina.
"Tapi Na, lo harusnya mikirin perasaannya Kak Sabang," ucap Fina sembari ikut duduk di samping Aina, menyambar remote tv lalu mulai memilah-milah channel.
"Emang lo tahu, apa yang ada di pikiran Kak Sabang?"
"Gue emang nggak tahu Na, tapi ada kemungkinan jika dia sakit hati sama ucapan lo."
Aina mengerutkan keningnya, yang dikatakan Fina memangnya sebuah kebenaran? Gadis itu mengetahui semuanya? "Kenapa gitu?"
"Dari awal lo ngirim sticky note itu, dia seolah melayang karena mendapat tiga kali sanjungan dari lo. Lalu dengan seenak jidat, lo tiba-tiba bikin dia jatuh dengan pernyataan kemarin."
Aina tidak tahu darimana ia mendapat kekuatan untuk berani melontarkan kalimat tersebut kepada Sabang.
Padahal setelah mengenal cowok itu, tidak ada rasa sedikit pun untuk mengatakan perasaannya yang sebenarnya dengan Dion. Tidak. Aina tidak pernah terpikirkan hal itu sebelumnya.
Namun, mengapa kemarin berbeda? Kenapa mulut gadis itu terlalu spontan mengatakan hal yang mungkin akan menyinggung orang lain?
"Terus gue harus gimana?" tanya Aina sembari menggigiti kuku jarinya. Ia terlalu was-was.
"Maybe, minta maaf?"
Aina berpikir sejenak. Minta maaf ya? Ia tidak membuat kesalahan besar, akan tetapi... perasaannya mengatakan jika apa yang terjadi pada Sabang saat ini adalah kesalahannya.
"Pasti Kak Sabang terlalu mikir jauh tentang sticky note gue," batin gadis itu.
Bukannya terlalu percaya diri atau menunjukkan jika dirinya berhasil membuat Sabang jatuh cinta, hanya saja Aina menangkap akan ekspresi cowok itu yang menatapnya penuh harap sebelum ia sempat pergi dari sana.
Entah apa yang dirasakan Sabang kala itu, namun yang pasti saat Aina menoleh ke belakang, Sabang masih belum bergeming dari tempatnya berdiri sembari menunduk.
Mengapa? Mengapa tidak segera pergi? Mengapa harus membuat Aina semakin dirundung bayangan kesalahan?
"Na, lo harus ngomong baik-baik sama dia."
"Iya, besok gue bakal ngomong ke dia."
"Gue nyuruh lo, bukan semata-mata buat mencoba ngecomblangin lo sama dia. Tapi gue tahu kalau mata Kak Sabang tuh, nggak bisa bohong waktu natap lo. Berbeda, Na."
Aina kembali mengingat, selain kemarin ... terakhir kali Sabang menatapnya intens kira-kira dua hari yang lalu. Tepat waktu lemparan bola basket hampir mengenai kepalanya.
Gadis itu memang sempat menatap Sabang, namun ia buru-buru membuang muka agar tidak terlihat seperti seseorang yang tengah salah tingkah.
Aina tidak biasa ditatap seperti itu, dan ia menyadari jika Sabang adalah satu-satunya teman cowok Aina yang menatapnya demikian.
"Gue yakin, dia ada rasa sama lo."
"Kenapa lo bisa seyakin itu?"
"Karena gue lihatnya pakai perasaan."
-----
Bayangan tentang hari kemarin terus menghantui Aina walau gadis itu sudah berniat untuk meminta maaf kepada Sabang.
Jantungnya merasa berdebar jika sekarang harus di hadapkan dengan orang yang bersangkutan secara langsung.
Mau bilang apa nantinya?
Aina mengamati sekitar, lapangan kembali ramai dengan diadakannya semifinal basket.
Di sana ada Sabang, berdiri di tepi lapangan sembari memberi semangat kepada tim dari sekolahnya yang saat ini tengah fokus dengan permainannya.
"Pas banget Na, di sana ada Kak Sabang," kata Fina, sedikit berbisik namun Aina berusaha untuk mendengarnya walau suara riuh penonton sedari tadi sudah terdengar.
Aina tahu ia harus mengatakan perihal kemarin, akan tetapi... mengapa jantungnya menjadi dua kali lebih berdebar hebat dibanding bertemu mendadak dengan Dion. Apa arti ini semua?
"Harus banget ya, Fin?" tanya Aina, mencoba memastikan.
"Harus lah, bukannya lo kemarin bilang kalau mau minta maaf sekalian deketin dia buat bisa move on dari Kak Dion?"
Move on. Meninggalkan Dion dan beralih dengan orang baru. Apa Aina bisa?
Sejauh ini gadis itu belum pernah memikirkan mengenai hal tersebut, tapi sepertinya untuk sekarang Aina memang perlu move on untuk melupakan Dion, dan berpindah haluan dengan orang lain. Misalnya saja Sabang.
Astaga, pikiran Aina ternyata melenceng jauh.
Aina buru-buru menghilangkan pikiran itu. Ada banyak cowok yang saat ini berada di BM, bukan hanya Sabang yang menjadi titik temunya. Bukan. Pikirkan orang lain, Aina.
"Eh, kak Sabang udah pergi, tuh. Kita ikutin, Na."
Dengan sekejab, lengan Aina langsung ditarik oleh Fina. Bahkan gadis itu bisa merasakan jika tarikannya begitu menggebu, hampir saja Aina dibuat terjungkal karenanya.
Keduanya berjalan cepat mengikuti langkah kaki Sabang. Entah cowok itu yang berjalan begitu cepat, atau kaki-kaki mungil mereka tidak bisa mengimbangi langkah Sabang. Padahal kedua gadis itu sudah beralih untuk berlari.
"Kemana tuh, orang perginya? Cepat banget," gerutu Fina sembari berusaha menetralkan detak jantungnya.
Aina tidak kalah ngos-ngosan, gadis itu bahkan dibuat kesal lantaran Fina terlalu cepat saat berlari.
"Besok aja deh, Fin, capek banget nih, gue."
"Ini bukan saatnya menunda lagi, Na."
"Ah bodo amat lah, gue---" belum sempat Aina menyelesaikan ucapannya dan berbalik badan untuk segera pergi, Fina justru bertindak lebih cepat dengan menarik tangan gadis itu. "Jangan banyak omong, kita cari Kak Sabang sampai ketemu!"
"Astaga Fina."
Walau ada rasa berat hati saat Fina sudah membawanya ke kantin sembari celingukan mencari Sabang, mau tidak mau Aina harus mengikutinya lantaran tangannya yang tidak bisa terlepas sedikitpun.
Entah karena terlalu bersemangat atau memiliki dendam pribadi, saat Fina menarik tangan Aina rasanya begitu kuat. Hingga sang empu sedikit meringis.
"Boom, itu dia orangnya!" sahut Fina saat menemukan Sabang tengah duduk di bangku paling pojok.
Tidak tunggu lama, keduanya pun langsung menghampiri cowok itu. Dan berharap Sabang mau membahas perihal kemarin, lalu sedikit me-notice Aina.
Yeah, harapan seorang sahabat kurang lebih seperti itu.
"Samperin Na, buruan!" kata Fina sembari menoleh ke arah Aina setelah mereka sempat berhenti sejenak.
Namun, bukannya segera berjalan mendekati Sabang ... Aina justru terdiam menatap lurus ke depan. Pandangannya jatuh pada Sabang yang kini mulai sibuk dengan obrolannya setelah seorang gadis ikut duduk di sebelah cowok itu.
Fina yang awalnya begitu bersemangat pun akhirnya melototkan matanya, tidak menyangka kala melihat Sabang ternyata bersama dengan Mera.
"Setelah melihat itu, apa lo masih mau nyuruh gue ke sana?" tanya Aina.
Fina terdiam, ia tidak mau mengambil resiko jika Aina melangkahkan kakinya ke arah Sabang.
"Yang ada, gue makin malu, Fin. Orang-orang pasti ngira kalau gue cewek bego yang malah nyamperin masalah, bukan menghindari."
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Sticky Note [TERBIT]✅
Novela Juvenil[TELAH TERBIT] Gara-gara satu sticky note yang tertempel di motornya pada hari Senin, membuat Sabang beranggapan jika dirinya memiliki seorang pengagum rahasia. Bukannya ingin menyombongkan diri atau apalah itu ... tapi sudah sangat jelas jika di...