12. Canggung Menyelimuti

339 46 0
                                    


Sabang merutuki dirinya sendiri sejak tangan Vio secara lancang menekan love pada foto Aina. Ia tidak bisa menyalahkan perihal itu kepada Vio sepenuhnya, ini murni karena kelalaiannya.

Akibat harus berurusan dengan Reyhan, dirinya justru mendapat petaka.

Bisa-bisanya, Sabang lupa ingatan perihal akun Instagram gadis itu yang belum ia log out setelah waktu pelajaran kemarin ia sengaja men-stalking Aina.

Gerakannya terburu-buru saat hendak memasukkan ponsel di laci mejanya. Sabang juga sedikit terkejut saat namanya dipanggil maju ke depan bertepatan dengan rasa bosan yang tengah melandanya.

Benar-benar sial.

"Hari ini Sabrina pulang jam berapa?" tanya Mahardika---ayahnya, yang kini mengantar Sabang dan juga Sabrina berangkat ke sekolah.

"Kaya biasanya, Yah."

Dika mengangguk, seraya melihat ekspresi anak sulungnya yang kebetulan duduk di bangku sebelahnya. "Kak, kok kaya gelisah gitu. Ada apa?"

Sabang tersadar dari lamunannya setalah sang ayah melontarkan pertanyaan padanya. "Hmm, gimana, Yah?" tanya Sabang balik pada Dika.

Pria itu menghembuskan napasnya panjang bersamaan dengan mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti tepat di gerbang utama BM.

"Aku berangkat dulu, Yah," pamit Sabrina, lalu keluar dari mobil tanpa menunggu ataupun bertanya pada Sabang untuk berjalan bersama seperti biasa atau tidak.

Sekilas, pemuda itu melirik ke arah luar. Melihat Sabrina yang masih berdiri tidak jauh dari mobil, membuat Sabang bergegas membetulkan letak tasnya.

"Eh, mau kemana?"

Sabang menoleh ke arah Dika saat pria itu justru mencegahnya untuk masuk ke dalam. Ada yang salah?

Sabang mengangkat satu alisnya, "mau masuk," jawabnya sembari kebingungan sendiri memikirkan kesalahannya.

"Kamu habis diputusin sama pacar kamu, ya?"

"Ha? Pacar?"

Dika mengangguk, lalu mencebikkan bibirnya serta mengibaskan tangan kanannya di depan sang anak. "Ngaku aja kali Kak, dari tadi Ayah lihatin kamu gelisah gitu," ujar Dika sebelum terkekeh melihat raut wajah anaknya yang benar-benar kebingungan.

"Sumpah, Sabang nggak punya pacar."

"Oh, gebetan ninggalin kamu duluan, gara-gara kurang gercep?"

Sabang tidak habis pikir dengan ayahnya, mengapa orang-orang selalu mengartikan kegelisahannya sebagai tanda galau akibat putus dengan pacar?

Gelisah tidak serta merta mengikutsertakan hal itu, Sabang bukan orang yang gampang galau jika mengenai asmara. Bahkan ia sendiri pun belum pernah merasakan bagaimana pacaran. Jadi, untuk gelisah gara-gara itu pun sangat mustahil.

Tanpa menghiraukan apa yang ayahnya kembali katakan, Sabang lantas membuka pintu mobil dan langsung keluar walau Dika sudah memanggil-manggil namanya untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

Astaga, berdosa sekali Sabang ini. Maaf ayah.

"Lama banget sih, minta tambahan uang saku kan, sama Ayah?" Sabrina berdecih saat Sabang baru saja keluar dari mobil sang ayah. Pikirannya tidak tenang jika Sabang mendapat uang saku lebih, karena Sabrina sendiri juga ingin.

"Kalau iya, kenapa?"

Sabang sudah berjalan masuk, tidak mempedulikan Sabrina yang justru meneriaki namanya. "Kak Sabang! Minta!" teriak gadis itu tidak tahu tempat, padahal mereka tengah berada di sepanjang halaman BM.

Sticky Note [TERBIT]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang