9. Di Satu Tempat

329 50 0
                                    


Perihal langkah santainya tempo hari ketika mendekat ke arah motor yang dikira milik Dion, lalu menempelkan sticky note secara diam-diam, bagi Aina ... itu awal mula perasaan malu hinggap pada dirinya. Hingga saat ini. 

Hanya gara-gara kertas berukuran kecil, ia menjadi terkena dampak dari rasa gugup yang melandanya saat ini.

Empat orang di satu mobil yang sama, saling diam setelah Bondan melajukan mobilnya ke jalanan beberapa menit yang lalu. Begitu canggung.

Aina sadar atas kesalah pahaman ini. Tapi di satu sisi ia bingung bagaimana caranya memberitahu Sabang jika sticky note itu bukan ditujukan padanya. Apa dia harus berterus terang dan memilih untuk kembali fokus pada Dion?

Iya, Aina ingin seperti itu.

Akan tetapi, masalahnya ada pada dirinya sendiri yang sudah masuk dalam pesona Sabang. Ia tidak bisa dengan mudah menjauh dari cowok itu jika pada kenyataannya keduanya sering curi-curi pandang satu sama lain.

"Na, mending lo ganti haluan, deh. Nyatanya Kak Sabang lebih menarik daripada Kak Dion," bisik Fina beberapa menit yang lalu.

Hanya itu kalimat yang melintas di pikiran Aina saat ini. Fina memang sahabat terbaiknya, ia tahu apa yang harus dilakukan Aina demi gadis itu bahagia.

Dan saat mereka terdiam dengan ditemani suara alunan musik yang diputar oleh Bondan, Aina menjadi ikut memutar otaknya untuk berusaha menyaring segala ucapan Fina.

"Eh, by the way kalian kelas berapa?" tanya Bondan yang sejak tadi sibuk menyetir, memperhatikan jalanan hingga lupa menyadari jika ada dua orang gadis yang sejak tadi tidak bersuara.

Atau lebih tepatnya canggung untuk sekadar mengeluarkan ucapannya terlebih dahulu.

"Kita kelas sepuluh, Kak," jawab Fina.

"Oh, masih siswi baru ternyata. Gue kira udah kelas sebelas."

"Muka kita masih terlalu imut buat dijadikan sepantaran sama kalian."

Aina menyetujui ucapan Fina barusan, wajah mereka yang imut ini memang masih pantas untuk disebut sebagai anak SMP yang hendak naik tingkat.

"Kalian kira kita kelas sebelas?" Suara dari orang yang duduk di sebelah Bondan akhirnya muncul, Aina dan juga Fina bahkan kompak saling pandang sebelum keduanya mengerutkan kening seraya merespon ucapan Sabang.

"Kalian kelas sebelas, kan?" tanya Aina, mencoba memastikan jika kedua cowok yang berada di depannya adalah kakak tingkat yang hanya memiliki umur berbeda satu tahun dengannya.

Namun, belum selesai Aina dengan pikirannya yang stuck pada kelas keduanya. Sabang justru segera menjawab pertanyaan gadis itu dengan nada yang lagi-lagi begitu tenang. "Kita kelas dua belas," kata Sabang.

Aina sontak melotot, tidak bermaksud berlebihan atau apa. Akan tetapi dirinya kembali merasa malu saat tebakannya selama ini salah.

Aina, malu untuk yang ketiga kalinya.

"Aku kira kalian kelas sebelas, soalnya aku pernah lihat Kak Dion akrab banget sama kalian."

Kala itu, saat sticky note yang pertama ia luncurkan pada motor yang ia kira milik Dion, dari arah koridor ... matanya tidak sengaja menangkap pemandangan dimana Dion tengah berinteraksi begitu akrab dengan Bondan.

Dan juga, Sabang. Walau saat itu, wajahnya tidak begitu kentara. Tapi Aina yakin jika Sabang juga berjalan beriringan dengan Dion.

"Lo kenal sama Dion?"

Mendengar hal itu dari Sabang, Aina lantas mendongak seraya mengangguk. "Aku cuma tahu yang namanya Kak Dion, nggak terlalu kenal akrab, kok."

"Lagian, cewek BM mana yang nggak tahu Dion sih, Bang? Semua juga tahu kali gimana pesona dia." Bondan ikut nimbrung, cowok itu hanya memberikan statement-nya perihal kepopuleran Dion yang bisa menembus mata serta hati siswi baru.

Sabang percaya jika pesona Dion memang sangat kuat. Berteman dengan cowok itu selama kurang lebih dua tahun membuatnya hapal bagaimana tingkah siswi baru ketika bertemu dengan Dion. Selalu histeris, dan pastinya berusaha untuk mengejar Dion agar melirik satu di antara mereka.

Lalu, apakah kedua gadis yang kini berada di belakangnya juga berpikir demikian?

Berusaha mengejar Dion seperti yang dilakukan orang lain?

Ah, perasaan Sabang jadi tidak enak.

"Belok ke kiri, ya?" tanya Dion kepada Fina.

"Iya, Kak."

Bondan menuruti apa yang tadi Fina katakan, terlalu baik hingga ia ingin sekalian mengantar Aina untuk pulang ke rumah. Bukan ke rumah Fina.

Aina memang menolak saat Sabang dan juga Bondan ingin mengantarnya sampai tujuan, ia berdalih karena ingin menginap di rumah Fina. Lagi.

"Hari ini aku nginep di rumah Fina, kok," ujar Aina saat mencoba menolak tawaran Bondan.

Ia tidak kuat jika harus duduk di satu mobil yang sama dengan Sabang lagi. Sudah cukup jantungnya dibuat berdebar kala tatapan cowok itu begitu tajam ketika Aina mendongak ke kaca yang berada di dalam mobil.

"Berhenti di sini, Kak."

Fina mengisyaratkan untuk berhenti, Bondan yang baru sadar segera menginjak rem dan ikut keluar saat kedua gadis itu sudah berada di luar mobil.

"Makasih ya, Kak udah dianterin, jadi ngrepotin."

"Santai aja, Fin."

Aina melirik ke arah Sabang, cowok itu hanya diam seribu bahasa tanpa mengucapkan satu kata pun.

Bahkan untuk sekadar menatap Aina dan juga Fina pun tidak.

Fina masuk setelah mengucapkan, "aku masuk dulu, Kak," dan diberi anggukan oleh Bondan.

Sekarang, tinggal dirinya yang berdiri di sana, walaupun tadi Fina sudah menarik tangan gadis itu pelan. Berusaha untuk membuat Aina mengikuti langkahnya.

"Makasih, Kak," kata Aina setelah Bondan kembali masuk ke mobil, dan meninggalkan Sabang dengan keterdiamannya.

"Bilang makasihnya ke Bondan, karena dia yang nawarin kalian."

"Iya, tapi kan, Kak Sabang juga ikut ngantar aku."

"Karena gue nebeng sama dia, mau nggak mau ya, gue harus ikut ... walau terpaksa."

Menyebalkan. Satu kata yang cukup untuk menggambarkan sikap yang pertama kali ia lihat dari seorang Sabang.

Aina tidak habis pikir dengan cowok itu, bukannya setiap pria sering tebar pesona setelah mendapat ucapan seperti itu dari seorang gadis?

Apa Sabang tidak termasuk di dalamnya? Apa Sabang bukan termasuk pria?

Lancang sekali mulut Aina ini.

Tidak mau berlarut dengan sebuah kalimat yang akan membuat Sabang terlihat menyebalkan, cowok itu pun memilih untuk memasuki mobil tanpa mengisyaratkan sebuah salam terakhir untuk Aina.

Sama sekali tidak, bahkan Aina dibuat meradang dengan tingkah Sabang barusan.

"Astaga, bisa-bisanya gue nemu cowok yang sikapnya ngeselin banget!" gerutu Aina saat hendak masuk ke rumah Fina.

"Ceweknya kok, betah sih, punya pacar kaya Sabang yang ngeselin itu!"

-----


Sticky Note [TERBIT]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang