19. Notif Malam

296 47 0
                                    


Menutup buku lebih awal dari jam belajar normal, membuat Maharani menegakkan tubuhnya kala melihat Sabang sudah bergegas akan pergi.

"Kok, sudah selesai?" tanya wanita itu sebelum anaknya berlalu dari ruang keluarga.

Sabang masih duduk, tangannya yang tadinya sibuk mengemasi buku kini mendadak berhenti. Ia menoleh ke arah bundanya, lalu mengangguk sebagai penanda jika ia sudah selesai.

Bukan isyarat seperti itu yang Maharani mau, ia bertanya mengenai alasan Sabang selesai lebih awal dari biasanya. Bukan sebuah anggukan yang menyatakan setuju.

"Mau kemana?" Untuk kedua kalinya, Sabang dibuat terhenti oleh sebuah ucapan. Namun kini bukan Maharani, melainkan ayahnya yang tiba-tiba saja sudah turun dari lantai dua bersama Vio digendongannya.

"Ke kamar," jawabnya singkat.

"Masih lima belas menit kok, udah pergi?"

"Tugasnya cuma dikit, Yah."

"Kan, bisa belajar materi besok, bukan cuma ngerjain tugas aja."

Maharani yang masih duduk di sofa itu pun lantas menoleh ke belakang saat menyadari jika Dika sudah turun bersama dengan Vio.

Ia bangkit, lalu menarik Vio ke pelukannya seraya mengisyaratkan pada Dika untuk tidak membahas mengenai kewajiban Sabang hari ini.

"Udah biarin aja," bisiknya pelan, disertai dengan mata yang menatap penuh harap.

Entah hal apa yang merasuki Sabang malam ini, ia tidak bisa fokus dengan buku di hadapannya walau beberapa tangga lagu sudah ia mainkan.

Bahkan dia sudah mencoba cara terfokus lain untuk menghindari kerumunan. Makanya, ia memilih ruang keluarga yang cukup sepi bila dibandingkan ruangan yang lain.

Pasalnya, suara Sabrina dan juga Reyhan sering terdengar ketika ia hendak duduk dan bersiap mempelajari materi untuk besok. Ia tidak bisa fokus.

Hingga saat ini, kurang lebih lima belas menit. Ia berusaha meredam sejenak otaknya, namun lagi-lagi tidak bisa.

Matanya menatap kedua orang tuanya bergantian, ia sadar jika Dika sudah menahan nasihatnya untuk anaknya. Maka dari itu, Sabang memilih untuk menjauh daripada bersitatap dengan raut wajah ayahnya.

"Jangan terlalu dipaksain, Sabang mungkin kecapean karena acara di sekolah tadi."

"Aku cuma ingetin dia buat belajar."

"Mungkin menurut Sabang, waktu segitu sudah cukup untuk paham pelajaran besok."

Sabang mendengarnya, ia memang lumayan lelah akibat keikutsertaannya mengurus acara sekolah pagi hingga siang tadi.

Namun, di sisi lain ... Sabang juga tidak bisa bertindak lebih kecuali harus mematuhi peraturan yang sebelumnya tertera di ruang OSIS.

"Nggak usah nelpon aku lagi, bye!" Sabrina bangkit dari kasur, kali ini ia sedikit telonjak tatkala melihat sang kakak sudah berdiri di ambang pintu.

Gadis itu hanya menyengir, ia tahu ... tempat yang ditempatinya saat ini adalah wilayah Sabang. Dan dengan seenak jidat, Sabrina justru langsung masuk tanpa bertanya dahulu kepada sang empunya.

"Ngapain di sini?" tanya Sabang setelah dua langkahnya sudah menapaki lantai kamar.

"Tadinya aku mau nyuruh Kak Sabang angkat telepon."

"Kenapa harus aku?"

"Karena yang telepon tuh, Kak Dion, aku males kalau sama dia!"

Dion. Sosok cowok yang membuat Aina dengan senang hati menuliskan sapaan dan juga kalimat bertajuk puitisnya.

Sticky Note [TERBIT]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang