15. Setelah Caramel

281 43 0
                                    


Berdiam diri sembari menatap lurus ke depan dengan bayangan akan hal yang terjadi kemarin siang membuat Sabang menghela napasnya berulang kali.

Ia hanya tidak menyangka dengan apa yang Aina ucapkan kala itu.

Ada rasa sakit hati saat gadis itu berterus terang dengan menyebutkan jika dirinya melakukan kesalahan yang menjadi awal dari kesalah pahaman keduanya.

Aina menatap Sabang tidak kalah sengit, ia memberanikan dirinya untuk mendekat ke arah cowok itu sembari tersenyum miring.

"Excuse me, apa kamu bilang tadi? Suka? Aku suka sama kamu gitu?"

"Kenyataannya seperti itu," jawab Sabang.

Aina menggeleng pelan, lalu helaan napas terdengar sebelum sebuah kalimat kembali ia lontarkan, "nih, aku kasih tahu yang sebenarnya ya, Kak."

Cukup was-was memang, namun mau tidak mau Sabang harus mendengarkan ucapan gadis itu. Toh, dari wajahnya saja bisa dilihat jika Aina akan menyampaikan sesuatu yang penting.

"Aku nggak ada maksud buat nempel sticky note itu di motor kamu, aku kira motor itu punya Kak Dion. Soalnya aku pernah ketemu dia pakai motor yang sama persis kaya punya kamu."

Pemuda itu masih diam, ia berusaha bersikap santai sebelum perasaan tidak nyaman menyerang ulu hatinya.

Mengapa dia mengatakan itu?

Mengapa ucapan itu sangat menyedihkan di telinga Sabang?

"Jadi, masalah secuil kertas itu hanya kesalahan, Kak. Sebenarnya aku nggak ada rasa apapun sama Kakak, bahkan sebelumnya pun aku juga nggak tahu siapa itu Mahardika Sabang."

"Dan berhenti berasumsi kalau aku suka sama kamu."

Petir memang datangnya sebelum, sesudah, ataupun saat hujan, namun kali ini berbeda. Sabang bisa merasakan jika fenomena tersebut menyerangnya saat itu juga, bersamaan dengan kalimat terakhir yang diucapkan Aina.

Sabang hanya berdiri di tempatnya, ia masih menatap raut gadis itu. Jika diteliti lebih lanjut, nampaknya Aina mengatakan kejujurannya.

Gadis itu menyukai Dion? Wajar, karena cowok itu sangat populer di sekolah.

Bagai ditampar keras oleh kenyataan yang membuatnya harus menunduk saat Aina sudah melenggang pergi, Sabang merasa jika dirinya gagal menjadi orang yang diidamkan gadis itu.

Perasaannya memang tidak tenang, akan tetapi bagaimana dengan sebuah kenyataan yang mengharuskan ia menyudahi kedekatannya dengan Aina?

Sabang menatap sekitar, masih di tempat yang sama seperti beberapa menit yang lalu. Ayahnya masih berada di dalam untuk mengurus beberapa proposal yang katanya akan digunakan untuk event cafe.

Tidak mudah untuk melupakan pernyataan Aina kemarin siang. Dirinya masih kepikiran hingga saat ini.

Gadis itu tidak menyukainya, itu hal wajar. Yang tidak wajar adalah perasaannya yang seakan menolak keputusan gadis itu.

Itu hak dia, hargai.

"Minggu depan, Kak Sabang bakal ngajak Kak Mera, ya?" Sabrina datang dengan membawa serta satu gelas milkshake di tangannya. Ia menarik kursi di depan Sabang, lalu duduk sembari memperhatikan wajah kakaknya yang terlihat lesu.

"Buat apa?"

"Kan bakal ada perayaan ulang tahun cafe."

"Gue ngajak Bondan sama Dion."

Sticky Note [TERBIT]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang