CHAPTER 3

1.9K 132 126
                                    

MYSTERIOUS BOY

"Dia misterius. Sikapnya yang dingin semata untuk menyembunyikan sesuatu yang tak ingin semua orang tahu."

✿✿✿

Netra memandang lama apa yang ada di balik jendela. Sebidak jalan dengan banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang. Kadangkala ia merasa bosan menunggu lampu lalu lintas berganti warna hijau.

Keadaan di dalam mobil begitu hening seperti biasanya. Tak ada interaksi selama ia masuk ke mobil. Indra pendengar hanya menangkap gelombang suara yang bersumber dari luar mobil.

"Bagaimana dengan hasil ulangan matematika bulan ini?"

Adrian menoleh melihat seorang lelaki duduk di sebelahnya. Lelaki itu berbicara tanpa memperhatikannya. Perhatiannya terfokuskan pada benda berlayar sentuh di dalam genggamannya. Seringkali ia membuka benda itu untuk melihat perkembangan saham yang ia miliki.

Adrian menghela napas berat. Seperti biasa lelaki itu tak pernah menanyakan hal lain kecuali pencapaiannya di sekolah. Bahkan untuk bertanya bagaimana keseharian anaknya selama bersekolah pun ia enggan. Seperti membatasi interaksi dengan anaknya sendiri.

"Adrian berada di peringkat pertama, Pa."

Lelaki bernama Julianto Adibrata itu mengangguk kepala. Jawaban itulah yang ia harapkan keluar dari mulut Adrian. "Bagus."

"Pertahankan itu, Adrian. Papa nanti akan berbicara dengan guru kamu untuk diikutkan dalam olimpiade."

"Iya, Pa." Adrian menundukkan kepala. Ia seringkali melakukannya untuk menanggapi Julianto, namun hal itu seakan berbicara dengan atasan.

"Kamu harus membanggakan keluarga kita dengan prestasi yang kamu miliki, Keluarga Adibrata."

Adrian tak langsung menanggapi itu. Lagi dan lagi ia mendengar ucapan itu. Sudah puluhan kali, tidak, ratusan kali ia mendengar kalimat yang sama. Kalimat itu selalu keluar dari mulutnya. Ia sudah muak.

"Mengerti?" tanya Julianto melirik Adrian karena tak kunjung mendapat tanggapan.

"Iya, Pa."

Sedari kecil Adrian sudah dituntut untuk bisa dalam segala hal. Ia mengikuti bermacam kelas khusus agar ia selangkah lebih maju dibandingkan anak seusianya. Julianto tak pernah memikirkan berapa uang yang ia habiskan untuk menyekolahkan Adrian. Ia hanya ingin anaknya terlihat sempurna dan bisa membanggakannya.

Namun pernahkan ia berpikir bagaimana dengan perasaan Adrian? Ah, tentu saja ia tak pernah memikirkan itu. Pikirannya selalu fokus pada bisnis yang ia tekuni selama ini. Ia terlalu mengejar ambisi untuk masuk ke dalam jajaran pebisnis terkaya di Indonesia.

Seandainya saja ia bisa menyampaikan keluh kesah, ia pasti akan menyampaikan semua yang selama ini ia simpan. Ia lelah untuk dituntut sempurna. Ia bukanlah sebuah produk agar dicap sebagai produk paling mutakhir. Ia hanya manusia biasa. Ia ingin hidup selayaknya manusia pada umumnya yang menjalani hidup bebas tanpa adanya tekanan. Sungguh ia sangat menginginkan kehidupan itu.

✿✿✿

Risa berada di tempat yang sangat ia benci. Tidak. Lebih tepatnya ia membenci suasana saat ini, berkumpul bersama keluarga di meja makan. Tidak seperti kebanyakan orang yang justru sangat menginginkan hal itu. Raut wajah Risa sangat menggambarkan betapa tak sukanya ia berada di sini.

Risa memandangi sepiring nasi di depannya. Satu tangan tak henti memainkan sendok untuk mengaduk-aduk nasi di atas piring. Ia hanya memandang, tak memiliki nafsu untuk menyantapnya. Gelagatnya tanpa sadar diperhatikan Mona yang duduk di depannya. Wanita itu melempar tatapan bingung kala mengamatinya.

She's Dating a Cold BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang