CHAPTER 32

317 8 0
                                    

SHARE

"Aku benci ketika kasih sayang yang seharusnya untukku harus terbagi dengan orang lain."

✿✿✿

Sorotan mata lurus menuju layar laptop di hadapannya. Layar itu menampilkan sebuah dokumen pekerjaannya. Tidak heran, sebagai seorang pebisnis ia perlu mengerjakan dokumen-dokumen penting untuk perusahaannya. Ia mengangkat segelas kopi lalu menyeruputnya. Berharap minuman itu bisa menetralisir rasa kantuknya di waktu tengah malam ini.

Dua jam berlalu ia habiskan untuk mengerjakan dokumen perusahaannya. Setelah menutup laptop ia bermaksud untuk istirahat sejenak di atas sofa empuk tak jauh dari tempatnya. Ia lalu beranjak dari meja kerjanya dan menghampiri sofa itu. Ia merebahkan keluh penatnya di sana dengan kedua tangan membentang di badan sofa.

"Akh... melelahkan," keluhnya menghela napas panjang.

Demi ambisinya untuk menjadi pebisnis terkaya, ia rela mengorbankan semua yang dimiliki untuk mencapainya. Ia rela mengorbankan tenaganya, pikirannya, bahkan waktu yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga kecilnya pun ia korbankan. Menurutnya sebagai seorang pebisnis, satu detik saja lengah maka keuntungan akan berpindah pada orang lain.

Berbicara tentang keluarga, ia sampai lupa mengenai satu-satunya anak yang ia miliki, Adrian. Dari informasi pengawalnya, Adrian sering tinggal di rumah keduanya yang beralamat di jalan Sentosa beberapa waktu terakhir.

Informasi itu lantas menarik rasa ingin tahunya. Perihal alasan Adrian lebih memilih untuk tinggal di sana dibandingkan rumah utamanya. Dengan kekuasaan yang ia miliki, ia memerintahkan pengawalnya untuk mengirimkan rekaman CCTV di rumah itu. Dengan begitu pula ia bisa mengetahui keseharian Adrian.

Satu tangan menyeluk ke dalam saku celana mengambil ponsel canggih miliknya. Setelah itu ia membuka salah satu aplikasi untuk menampilkan video. Dari layar ponselnya terlihat ia tengah memutar tayangan video dari rekaman CCTV rumahnya. Ia memutar satu persatu video dengan menaikkan percepatannya.

Ia melihat tayangan itu dengan ekspresi wajah datar, nyaris tanpa ekspresi. Sejumlah video yang telah ia putar belum ada yang menarik perhatiannya. Suasana monoton semacam ini mengundang rasa kantuknya sehingga sorotan mata berujung sayu.

Beberapa menit telah terlewati. Ia telah sampai di penghujung rasa kantuknya. Saat ia memperhatikan layar ponsel terakhir kali sebelum menutup mata, ia menemukan kejanggalan dari potongan video yang tengah terputar. Kejanggalan itu telah menggagalkan keinginannya untuk tidur. Sinar matanya kembali terbuka dengan lebarnya.

"Tunggu," ucapnya memutar kembali potongan video yang dimundurkan sepuluh detik.

Kerutan di kening mulai muncul di permukaan kulitnya. Kedua alis terlihat menyatu menjadi satu garis. Penggambaran itu menunjukkan bila ia tengah murka. Tatapan mata terkesan tajam saat memperhatikan layar ponselnya. Ia ingin memastikan apa yang ia lihat sebelumnya.

"APA-APAAN INI!" bentaknya menatap nyalang ponsel di tangannya.

"TOPIK!" Ia memanggil salah satu nama pengawalnya dengan intonasi suara tinggi hingga urat muncul di pelipisnya.

Tak sampai satu menit sang pemilik nama masuk ke dalam ruangan usai mengetuk pintu. Ia berlari kecil menghampiri Julianto lalu berdiri di depannya seraya menundukkan kepala.

"Ada apa, Tuan Besar?"

Julianto melempar ponselnya di atas meja berbahan marmer. Tidak perduli jika ponsel canggih itu rusak, karena ia dapat membelinya lagi.

"Lihat video itu!"

Topik menuruti perintahnya untuk melihat apa yang tertampil di layar ponsel. Layar itu menampilkan seorang pemuda tengah membopong gadis belia, mulai dari depan pagar rumah sampai masuk ke dalam rumah.

She's Dating a Cold BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang