CHAPTER 31

331 12 0
                                    

TREATMENT

"Tidak salah ketika kamu memperlakukan orang sebagaimana mereka memperlakukanmu. Karena tidak semua orang mengerti makna menghargai."

✿✿✿

Sinar mata memandang lama seseorang di taman. Ia duduk seorang diri merasakan keheningan. Seperti yang semua orang katakan bila ia benci dengan keramaian. Pandangan orang itu lurus memandang sepasang kakinya yang berselunjur. Kedua tangan saling memilin di atas pangkuan. Barangkali ia tengah memikirkan sesuatu, atau tengah menanti kehadiran seseorang.

Sepasang kaki berayun tak seirama. Dari arah jalannya tampak ingin menghampiri orang itu. Setelah sampai pada tujuan, ia mendaratkan tulang duduknya di sebelah orang itu. Ia menyapa orang itu sambil memegang bahunya.

"Adrian," sapanya mengejutkan sang pemilik nama.

Adrian terdiam sejenak dengan kedua netra membulat. Ia cukup terkejut dengan kehadirannya secara tiba-tiba.

"Kebetulan kamu berada di sini. Ada yang ingin Ibu bicarakan."

Adrian mengangguk lambat. Ia melakukan itu untuk menanggapinya.

"Minggu ini minggu terakhir kamu belajar bersama Risa, kan?"

"Iya."

"Semoga saja anak tengil itu mendapat perubahan besar di ujian selanjutnya setelah belajar dengan kamu."

Adrian tidak menimpalinya dengan jawaban. Ia menggerakkan tangannya untuk menutup mulut serupa menyembunyikan sesuatu. Iya, Adrian tengah menyembunyikan canda tawanya setelah mendengar umpatan Tuti kepada Risa.

"Oh, iya, Ibu ingin menyampaikan juga kepada kamu tentang satu hal."

Adrian tidak menanggapinya dengan jawaban. Ia hanya duduk tenang memperhatikan Tuti.

"Ibu sudah mendaftarkan kamu untuk mengikuti Olimpiade Matematika, sesuai dengan permintaan papa kamu, Adrian."

Tuti memberikan selembar poster pada Adrian. "Ini poster olimpiade yang akan kamu ikuti."

"Olimpiade ini tingkat Nasional. Kamu tidak hanya bersaing dengan siswa yang ada di Jakarta saja, tetapi kamu akan bersaing dengan siswa se-Indonesia ini."

Wajah yang semula datar berangsur lesu seakan kehilangan semangat hidupnya. Ia pun menghela napas panjang. Pikir Tuti informasi itu akan membuatnya senang, namun justru kebalikannya. Ia tidak senang. Olimpiade itu bukanlah keinginannya, melainkan keinginan Julianto melalui dirinya.

Tidak bisakah Julianto saja yang mengikuti olimpiade ini jika memang keinginannya? Mengapa ia harus memaksa Adrian untuk mengikutinya, yang sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti olimpiade.

"Jika kamu menang dalam olimpiade ini, papa kamu pasti akan sangat bangga, Adrian. Sertifikat juara olimpiade ini juga bisa kamu gunakan untuk mendaftar kuliah di luar negeri."

Adrian tersenyum simpul mendengar ucapan itu. Selama ini Julianto tidak pernah mengungkapkan rasa bangganya. Sudah banyak penghargaan yang ia raih, namun Julianto tidak pernah mengapresiasinya dalam bentuk apapun.

"Nanti Ibu akan membimbing kamu untuk mengikuti olimpiade ini. Tepatnya setelah kamu menyelesaikan ujian bulanan matematika."

Adrian tidak memberi tanggapan dalam bentuk apapun. Ia tidak menimpalinya dengan ucapan, bahkan dengan anggukan kepala. Menurutnya tidak ada hal yang harus ditanggapi jika itu bukan hal yang menarik untuknya.

"Ibu tinggal, ya. Ibu mau ke kantor ada urusan," pungkas Tuti tersenyum meninggalkan Adrian.

Adrian menyandarkan punggungnya di badan kursi. Ia merehatkan keluh penatnya di sana seraya menghela napas berat. Kedua kelopak mata menutup lambat saat tangannya mengurut kening yang terasa sakit.

She's Dating a Cold BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang