CHAPTER 9

719 40 66
                                    

OWN WAY

"Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menunjukkan perhatian, baik dengan cara lembut maupun cara kasar."

✿✿✿

Manik mata memperhatikan benda bulat yang melingkari pergelangan tangannya. Ia terus memperhatikan tanpa berpaling. Seolah tak mengenal kata henti. Bibirnya membisik sepatah kata yang takkan bisa didengar oleh siapa pun.

Kulkas kemana, sih.

Kedua tangannya kini melipat di bawah dada. Salah satu kaki mengetuk permukaan lantai berulang kali hingga menimbulkan bunyi abstrak. Tak menutup kemungkinan bunyi itu menjadi satu-satunya pengisi keheningan di ruang nan besar ini.

Tak berselang lama sebuah bunyi yang bersumber dari pintu berhasil menyita perhatiannya. Sorotan mata yang semula memandangi langit-langit beralih ke sumber suara. Di sana Risa menemukan seorang cowok mengenakan seragam sekolah dengan ransel abu di belakang punggungnya.

Iya, seragam sekolah. Tak seperti hari lalu yang mengenakan seragam putih lengkap dengan sabuk hitamnya yang khas. Melihat itu Risa refleks mengernyitkan alis dengan sorotan mata tajam. Agaknya dia tak begitu senang dengan penampilan cowok itu.

"Kok lo...."

"Hari ini free," potongnya cepat. Seolah tak memberi Risa kesempatan untuk menyelesaikan ucapannya.

Cowok berpostur tubuh tinggi dengan kaki jenjang itu mengegah melalui koridor yang akan membawanya menuju gerbang depan sekolah. Meninggalkan Risa seorang diri di dalam gedung olahraga itu.

"Hah?" ucap Risa terngaga. Ia belum bisa memahami ucapan singkat itu.

Sebagaimana perjalanan waktu yang mengikuti masa sekitarnya, Risa tak menyadari telah menghabiskan waktu selama lima detik untuk berdiam diri dengan tatapan kosong. Namun setelahnya Risa segera mengejapkan mata dan bergegas menyusul cowok itu. Bahkan karena terburu-buru ia sampai melupakan ransel beserta barang penting di dalamnya.

"Adrian!" pekik Risa ketika ia baru saja keluar dari gedung olahraga. Manik matanya menemukan satu-satunya orang yang berjalan melalui koridor ini, Adrian. Keberadaannya telah sampai di penghujung koridor.

Gesekan alas sepatu bersama permukaan lantai menciptakan suara abstrak yang terdengar jelas di telinga. Ritme derap langkah berangsur singkat seiring berjalan masa. Melelahkan. Sekuat tenaga Risa mencoba menyusul seseorang yang tak kunjung menghentikan langkah.

"Berhenti dulu kenapa, sih!" tegas Risa seraya mencengkram pergelangan tangannya.

Ah, kalian sudah bisa menebak apa yang akan Adrian lakukan saat itu. Iya, seperti biasa ia langsung menepis tangan Risa. Tanpa perlu dugaan pun Risa sudah tahu Adrian akan melakukannya. Walau begitu ia hanya ingin Adrian berhenti dan mendengarkannya.

Sejenak masa Risa menekuk lututnya sehingga terlihat membungkuk. Satu tangan mendekap di depan dada lalu mengusapnya lembut. Sementara pandangannya saat ini menitik pada dua pasang kaki yang saling berhadapan. Cara itu ia lakukan dengan harapan mampu menetralisir volume pernapasannya sebelum memulai bicara.

Menunggu Risa yang tak kunjung mengeluarkan sepatah kata membuatnya cukup geram. Ah, orang yang disiplin waktu seperti itu tentu saja tak ingin menyia-nyiakannya. "Ngomong atau gue pergi...."

"Kenapa...lo...batalin...latihannya?" potong Risa cepat walau keadaannya saat ini masih sulit berbicara.

"Gue sibuk," ucapnya santai seraya tangan menyeluk ke dalam saku celana.

She's Dating a Cold BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang