CHAPTER 14

464 17 56
                                    

GIVE THANKS

"Mengapa kamu mudah menyerah ketika Semesta memberikanmu cobaan? Mengertilah bahwa banyak orang yang hidupnya lebih malang darimu namun mereka mampu menjalaninya. Bersyukurlah atas apa yang telah diberi, karena Semesta tahu apa yang terbaik untukmu."

✿✿✿

Risa mendorong pintu rumah lalu masuk tanpa menimbulkan bunyi. Selepas menaruh sepatu ia berjalan menghampiri keramaian yang bersumber dari dapur. Ia melirik benda bulat yang melingkari pergelangan tangannya. Waktu yang ditunjukkan benda itu merujuk pada waktu makan malam. Hal ini seringkali menjadi kebiasaan keluarganya.

Risa menatap Mona tengah sibuk menata piring di atas meja. Sementara Ikhsan duduk di salah satu kursi sembari menyeruput secangkir kopi hangat. Setelah itu Risa berjalan malas dengan menyeret ranselnya. Kakinya berayun menuju anak tangga.

Mendengar suara tak biasa keduanya menoleh bersamaan. Mereka cukup terkejut dengan keberadaan Risa yang tiba-tiba. "Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang," tanya Ikhsan. Nada bicaranya naik satu oktaf.

"Perduli apa Papa sama Risa?"

Ikhsan beranjak dari kursi. Mimik wajahnya terlihat kesal. Ia begitu marah sampai menunjuk-nunjuk Risa. "Bicara apa kamu sama Papa?"

Mona dengan sigap berdiri di sampingnya dan berusaha mencairkan suasana. Ia tak ingin mendengar keributan antara ayah dan anak. "Sudah, Mas. Jangan ribut, sudah malam. Mungkin Risa pulang malam karena habis dari rumah temennya tapi dia lupa ngabarin."

"Heh, Babu, nggak usah sok tau deh tentang gue. Dasar caper banget jadi orang," pungkas Risa sebelum ia masuk ke dalam kamar.

Mendengar itu membuat Mona diam seribu bahasa. Bahkan ia tak berani menatap wajah Risa. Ia tahu ia pasti akan mendapatkan tatapan tajam dan remeh dari Risa. Kini ia sudah hapal dengan perangai buruk Risa.

"RISA JAGA UCAPAN KAMU!" bentak Ikhsan.

Ikhsan hendak menyusul Risa untuk berbicara langsung dengannya. Akan tetapi Mona dengan tegas mengurungkan niat itu. Ia membuat Ikhsan percaya bahwa ia tak mempermasalahkan ucapan Risa. Meski nyatanya hatinya begitu teriris mendengar ucapan buruk itu. "Sudah, Mas. Sepertinya mood Risa sedang tidak baik. Lebih baik tidak kita ganggu."

Ikhsan menghela napas panjang kemudian duduk kembali di kursinya. Ia mengambil piring yang sudah diisi nasi oleh Mona. "Risa semakin lama semakin susah diatur. Dia sudah terlalu bebas," keluh Ikhsan.

Mona tidak memberi tanggapan. Lebih tepatnya ia bingung harus menjawab apa. Ia pun tak tahu jelas bagaimana sikap dan perilaku Risa dengan kepribadiannya yang sekarang.

"Padahal dulu dia itu anak yang baik, sopan dan patuh dengan ucapanku dan mamanya. Dia dulu juga sangat dekat dengan kamu selayaknya kakak dan adik. Tapi... kenapa dia berubah menjadi anak yang keras kepala dan pembangkang seperti ini."

"Apa aku gagal... menjadi ayah yang baik."

Mona melirik lelaki paruh baya itu dengan lama. Ia melihat wajah yang begitu sedih menunjukkan rasa kecewanya. "Jangan bicara seperti itu, Mas. Kamu nggak gagal kok. Mungkin saat ini Risa belum mengerti makna menghargai yang sebenarnya. Mungkin lain waktu, ketika Risa disadarkan oleh suatu hal yang akan membuatnya mengerti bahwa betapa beruntungnya memiliki keluarga."

"Ya... semoga saja dia sadar," ucap Ikhsan menghela napas panjang.

Ikhsan menatap istrinya begitu lama ketika ia mengambil sepiring nasi. Seperti ada suatu hal yang tengah ia pikirkan mengenai istrinya. Bibirnya terlihat sedikit membuka menandakan ia hendak berbicara. "Mona...."

She's Dating a Cold BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang