17. Apology

10 5 0
                                    

"Banyak masalah?" Chlorine bertanya pada lelaki di depannya, sembari menaruh secangkir minuman hangat sesuai pesanan yang diminta.

Hans yang tadinya merunduk, kini perlahan mulai mengangkat kepala, menatap wanita itu intens. "Kenapa kau tahu?"

Chlorine tersenyum, setelahnya kembali ke tempat semula, menuang beberapa bubuk minuman untuk pesanan pelanggan yang lain. "Wajah mu menunjukkan bahwa beban mu begitu berat. Ada masalah apa?"

"Tidak, tidak ada masalah. Hanya tentang ...." Pria itu kembali merunduk, sebelum akhirnya mengangkat gelas minumannya, meniup asap-asap nya yang masih mengebul lalu kembali meletakkannya. "Lilian," sambungnya dilanjuti helaan napas.

Meskipun sibuk, Chlorine tetap menghiraukannya, bahkan kini ia tersenyum. "Kau merindukan nya?" Dirinya menerka, dari raut wajah Hans yang sudah sangat jelas. Air wajah pria itu terlihat murung dan tidak bersemangat seperti biasanya.

"Hm, sangat."

"Belajarlah melupakannya," lontar Chlorine sembari menenteng sebuah nampan kemudian beranjak untuk menghantarkannya pada pelanggan.

Wanita itu kembali, kini sudah duduk dihadapan Hans, menatap wajah lelaki dengan kepala merunduk itu penuh iba. "Belajarlah, walaupun sangat sulit. Ia sahabat ku, sama seperti kau, akupun merasa sangat kehilangan nya, sangat."

"Tapi ... aku tidak bisa." Hans menayanggah, ia tahu, berusaha melupakan gadis yang ia cintai itu adalah salah satu solusi terbaik yang harus ia lakukan. Namun mengapa, mengapa rasanya sangat sulit? Hans tidak sanggup.

"Aku tahu Hans, cobalah."

Satu hembusan kasar dari napas pria itu terdengar amat jelas. "Bagaimana bisa ... selalu ada namanya yang terbayang di setiap detik ku lalui."

"Hans—"

"Aku tahu, kau benar. Namun aku butuh waktu."

Keduanya saling diam setelah melontarkan kalimat barusan. Ada sebuah pertanyaan yang tiba-tiba masuk ke dalam otak Chlorine seraya menyaringnya secara tidak langsung untuk dipertanyakan.

"Kau masih berusaha merebut kristal itu?"

Kini Hans menatap wajah wanita itu, menatapnya sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, aku masih berusaha."

"Hentikan, tolong hentikan." Terdengar nada memohon dari kalimat yang terlontar dari mulut Chlorine, namun tidak meindahkan Hans untuk tetap menggeleng dengan tolakan halus.

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena aku sudah bertindak sejauh ini. Dan ...."

"Dan hanya ini satu-satunya cara untuk menepati janji mu pada Lilian?" sela Chlorine terdengar frustasi, salah satu tangannya bertumpu ke atas meja, seraya memijat pelipis. "Setidaknya pikirkan adikmu."

"Kenapa aku harus memikirkannya? Kadang orang perlu egois untuk kebahagiaan dirinya sendiri, bukan?" Pria itu menyambar perkataan Chlorine, seperti tidak terima.

"Tapi tetap saja ... ditinggal oleh orang yang kita cintai semenyedihkan itu, bukan? Lantas, kenapa kau melakukan itu padahal kau tahu rasanya? Terlebih, pada saudara mu sendiri."

"Jangan mengurusi kehidupan ku," sahut Hans, nada suara yang ia gunakan melemah, menandakan bahwa ada beberapa perkataan Chlorine yangs sedikit menyentak hatinya.

"Aku tidak mengurusi kehidupan mu, hanya mengingatkan mu, Hans. Karena, penyesalan tidak di awal, namun di akhir. Kau tahu sebuah kata akhir bukan? Kau tidak akan mampu mengulang, bahkan sekuat apapun kau berusaha."

Not an Ordinary Crystal | Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang