15. Forgotten Memories (2)

8 6 0
                                    

Yeayyyyy, up!!🥳 Lama banget nggak up🥺

Happy reading 😘

🧙‍♀️


Orallion tahu, Syailen sedang memikirkan sesuatu.

Dan ia pun juga sama, ia juga memikirkan sesuatu. Otaknya masih berputar-putar, seakan selalu terngiang-ngiang dengan ucapan Chlorine. Kalimat itu benar-benar ampuh membuat kepalanya pusing.

Tapi ... apa Syailen bisa melakukannya? Membunuh ibuku? Membunuh kakaknya? Membunuh ibunya sendiri? Dan serangan itu? Memangnya logis kalau dia yang melakukannya?

Pikirannya benar-benar bergulat dengan berjuta opini dan fakta yang kini mulai susun satu-persatu, hingga menjadi itu, jika bisa, tapi menurutnya ini sulit.

Bagaikan teka-teki, tapi untuk mencari jawabannya sendiri tidak harus ke mana. Seolah-olah, kamu mencari sesuatu yang ada tapi tidak ada seseorang pun yang tahu di mana "sesuatu" itu ada di mana.

Memusingkan, melelahkan, iya.

Tapi Syailen sekarang tanggung jawab besarnya. Tidak ada lagi yang bisa menjaganya selain Orallion. Oh sepertinya Orallion terlalu percaya diri, memangnya ia bisa menjaga Syailen?

Haha, bodoh, dia saja mampu melindungi negeri ini.

Sadar, dengan keadaan mereka yang semakin canggung setiap detik. Orallion mencoba mulai mencairkan suasana dengan berbicara dari hal yang sama sekali tidak penting.

"Kau sudah menyirami bunga mu?" Itu katanya, dan ia merasa menyesal karena menanyakan itu. Bukannya, membuat suasana cair, gadis di hadapannya justru bingung dan kikuk mendengar pertanyaannya.

Malu-malu-in.

Setelah makan malam mereka selesai, Orallion berencana untuk kembali-karena keadaan juga sudah larut, dan Syailen harus beristirahat.

Tapi gadis itu lagi-lagi menahan kepergiannya dengan mengatakan, "Aku masih merindukanmu, mari melihat bintang sebentar." Kalimatnya ia jeda, karena ragu. "Boleh?" sambungnya lagi, memberanikan diri.

Syailen bertanya seperti itu seakan-akan Orallion mampu menolaknya. Iya, Orallion tidak mampu menolaknya, ia terlalu payah, dan selalu jatuh dalam mata Syailen.

Sesuai permintaan, mereka berdua melihat bintang di atas atap. Atap kerajaan yang sama lebih condong berbentuk segetiga, namun ada beberapa bagian yang condong ke atas, semacam kastil, namun kosong tak digunakan.

Ia tahu Syailen butuh sandaran, dan ia memberikan bahunya untuk gadis itu bersandar agar lebih nyaman menatap bintang.

"Biasanya, setiap kali aku bersandar di bahu mu, Michael selalu mengomel dan meledek. Dia bilang, tidak boleh karena aku masih terlalu kecil. Di setiap kejadian itu, pasti kau dan dia bertengkar. Aku rindu masa-masa itu." Orallion tidak berani menatap mata gadis itu, jadi ia lebih memilih ikut menatap bintang.

"Akhir-akhir ini, banyak kejadian. Serangan dan lain-lain, apalagi Dad sakit, Michael jadi semakin sibuk begitu pun aku. Biasanya setiap sore kami selalu memancing di dekat sungai, tapi beberapa Minggu terakhir, semuanya berhenti. Seolah-olah menunjukkan bahwa kami akan dipisahkan."

"Tawanya juga terlihat redup, wajahnya gusar dan sama sekali tidak ceria seperti biasanya. Dia juga sering marah-marah kepada yang lain, tapi selalu berusaha, menahan kesabaran jika bersamaku. Dia juga, sering berkunjung ke makam mom, dan menangis di sana. Tapi menolak jika aku ingin ikut. Aku jadi semakin janggal di sana."

"Dan ya, dia sekarang pergi. Aku tidak mengerti dan tidak paham, kejadiannya begitu cepat. Cepat dan semuanya membuat ku bingung. Aku kurang mengerti dan ada beberapa kejadian yang sedikit ku lupakan padahal terjadi akhir-akhir ini. Aku ingin bertanya padamu tadi, karena aku lupa, kemarin aku lupa sesuatu saat pesta, aku hanya mengingat dansa, selainnya aku tidak ingat. Aku kenapa ya, Orallion?"

Not an Ordinary Crystal | Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang