31. Escape

2 2 0
                                    

🧙‍♀️

Mungkin, jika semua orang menanggap Kristal di dalam hati Syailen adalah sebuah petaka ataupun musibah, Syailen sendiri justru beranggapan kebalikannya.

Dia justru diperuntungkan dengan adanya Kristal ini, banyak kejadian yang dapat ia selamatkan dari petaka. Dia juga beranggapan bukan Kristal ini sumber petaka, namun Kristal inilah penyelemat dia dari petaka tersebut.

Seperti contohnya tentang membunuh ibunya dulu. Iya, Syailen tahu itu adalah hal paling gila atau tidak hal paling bodoh yang pernah ia lakukan.

Tapi begitulah manusia, selalu beranggapan bahwa dia membunuh ibunya karena sebab lain. Padahal justru untuk kepentingan mereka, kepentingan rakyat.

Dan hal ini terjadi juga karena tuntunan kristal.

Ibunya memang ramah baik, bahkan begitu pengertian sampai-sampai beberapa pelayan kerajaan yang kebetulan mengetahui kejadian tersebut sempat bertanya-tanya, kenapa Syailen sampai membunuh sosok yang paling dekat dengannya.

Di dalam tubuh ibunya, terdapat dua jenis jiwa. Pertama jiwa asli ibunya, yakni bersikap ramah, baik dan murah hati—seperti yang sering ia tunjukkan. Kedua, jiwa lain yang masuk ke dalam tubuh ibunya. Ini faktor penyebab utamanya.

Pemilik jiwa tersebut dulunya seorang penyihir hitam.

Hal inilah yang paling dia takutkan; pertama karena jiwa tersebut bisa saja mengambil kristalnya kapanpun tanpa diketahui, kedua, jiwa tersebut bisa saja menghancurkan kota karena kekuatannya.

Kedua faktor tersebut sangat fatal untuk ukuran keamanan, terpaksa bahkan dengan sangat terpaksa, hari itu, Syailen, gadis belia itu membunuh ibunya sendiri dengan kedua tangannya melalui kekuatan kecil dari sang Kristal.

Mulai dari hari itu, ia di cap sebagai pembunuh kapan saja orang mengetahuinya.

Dia berjuang, hanya demi melindungi rakyatnya kelak. Demi melindungi negerinya, demi menyelamatkan kotanya dari sebuah kehancuran. Dia. Berjuang sendirian. Namun selalu dicampakkan.

Ini tidak adil? Sangat.

Tapi lagi-lagi ... semuanya di luar atas kehendaknya sendiri. Syailen sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya, segalanya di luar batas, ia dikendalikan oleh kristal itu. Lagi.

Kini, di dalam senyap serta dinginnya pengasingan berlatarkan semacam gue tertutup bebatuan-bebatuan besar, Syailen duduk, termenung, tangannya masih terikat semenjak ia bangun 2 jam lalu, bibirnya penuh akan darah mengering dan pipinya—luka karena kuku Meratania tadi pun juga mengering.

Ia tidak peduli rasa sakitnya sekarang, dia lebih peduli kepada ayahnya, Wesley. Meninggal? Astaga, bahkan Syailen belum menemuinya untuk yang terakhir kalinya semalam.

Lalu apa katanya tadi, giliran Orallion? Sungguh, Syailen tidak mengerti, sekuat apapun Meratania melacak keadaan Orallion pasti tidak akan pernah ketemu karena pria itu kehilangan kesadaran.

Kecuali ... Orallion sudah sadar?

Mustahil. Perkiraan Madam Jessie selalu benar—dan Syailen harap akan tetap seperti itu. Orallion tetap tidur, tenang hingga keadaan yang akan dijalaninya di masa mendatang aman.

"Dad ... kau baik-baik saja?" gumamnya pelan, melamun, entah untuk kesekian berapa kalinya.

Perutnya sesekali berbunyi, bergetar bahkan suaranya lumayan kencang. Tapi tidak ada yang peduli, jatah makan hanya akan diberikan 3 hari sekali, dan itupun jika beruntung.

Kalau sial, kemungkinan satu Minggu penuh menahan lapar serta haus.

Pantas ... pantas Hans membencinya. Melihat seseorang yang dia cintai, maksudnya Lilian yang masuk pengasingan dalam keadaan tersiksa seperti ini, tentu saja menumbuhkan dendam di dalam hatinya kepada keluarga Syailen.

Not an Ordinary Crystal | Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang