39

15.1K 1.4K 8
                                    

"Ay, lo harus jelasin ke gue!"

"Aduh nanti ya Fan. Gue mau jelasin ke Kak Aldi dulu. Kayaknya dia marah."

Setelah mengatakan itu, Aya mengejar Aldi yang sudah keluar terlebih dahulu.

"Jangan lari Ay, ingat," peringat Rasya membuat Aya memelankan langkahnya. Iya juga, ia harus berhati-hati mulai sekarang.

"Kak!" panggil Aya berjalan cepat menuju Aldi. Ia ingin berlari kalau tidak ingat ada dua nyawa di perutnya.

"Kak, tunggu bentar, gue bisa jelasin," ucap Aya saat ada di belakang Aldi.

"Apa? Gue udah denger semua ceritanya. Mau jelasin apa lagi?" Aldi menyahut ketus dan enggan menghentikan langkahnya. Aya masih berusaha mengikuti langkah lebar Aldi.

"Gue minta maaf. Gue pikir ini enggak penting. Gue enggak tau kalau masalahnya akan sepanjang ini."

Mendengar itu, Aldi menghentikan langkahnya spontan.

"Enggak penting? Lo sampai masuk rumah sakit dan itu enggak penting!?"

Aya menahan diri agar tidak menangis karena bentakan Aldi.

"Itu semua karena gue Ay, mereka bully lo karena gue! Apalagi yang mereka lakuin? Hina lo? Gosipin lo? Maki-maki lo? Atau lo pernah dapat kekerasan fisik juga?" cecar Aldi, Aya menggeleng cepat.

"Gue enggak tau! Karena lo enggak pernah cerita. Kalau enggak ada pertemuan ini, mungkin sampai sekarang lo enggak akan cerita, 'kan?"

Aya menunduk saat Aldi menatapnya tajam.

Beruntung pertemuan mereka di lantai teratas yang memang dikhususkan untuk pertemuan, sehingga kondisi sepi jadi mereka tidak menjadi tontonan banyak orang.

"Gue jadi mikir, selama ini lo enggak pernah berbagi keluh kesah sama gue, lo selalu berusaha beresin masalah lo sendiri, bahkan sekadar cerita pun enggak, 'kan? Lo anggap gue suami bukan sih?"

Gagal. Pertahanan Aya akhirnya runtuh. Air matanya menetes saat Aldi meninggalkannya.

"Aya," panggil Fani dari belakang Aya berdiri. Aya menghapus air matanya sebelum berbalik.

Pelukan Fani yang pertama menyambutnya. Membuat Aya kembali menangis. Ia benci dirinya yang lemah karena Aldi. Kenapa semua yang berhubungan dengan pemuda itu membuatnya mudah menangis, ia benci jadi lemah begini.

"Lo tenang dulu ya. Gue anter pulang yuk," ajak Fani, Aya hanya mengangguk. Tadi ia diantar Aldi, dan tidak mungkin sekarang Aldi mau menjemputnya.

Saat di mobil, ternyata sudah ada Rasya di bangku kemudi. Pemuda itu menyerahkan kotak tisu pada Aya. Sepanjang perjalanan, Aya hanya diam dan menjawab sekenanya saat ditanya arah indekosnya. Fani menemaninya duduk di bangku belakang. Gadis itu juga tidak banyak bertanya padanya.

"Ini kos lo?" tanya Fani saat memasuki indekos Aya. Aya mengangguk.

"Duduk dulu, gue ambilin minum."

"Eh, enggak usah repot, Ay," ujar Fani tampak tak enak hati, Aya menggeleng.

"Gue juga haus," jawab Aya meninggalkan Fani dan Rasya di ruang tamu.

"Sorry, cuma ada ini." Aya meletakkan nampan berisi minum dan camilan di meja kecil yang ada di sana.

"Udah dibilang enggak usah repot."

"Enggak usah sok, lo haus juga, 'kan?" sarkas Rasya melirik Fani malas lalu pemuda itu mengambil minum yang Aya sediakan. Fani berdecak sebelum ikut minum.

"Jadi?" tanya Fani pada Aya.

"Kayak yang dibilang Kak Aldi tadi," jawab Aya singkat sambil menyandarkan dirinya di kursi.

A [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang