"Namanya Aldo. Dia lebih muda tujuh menit dari aku."
Aldi menghela napas.
"Kita emang kembar, kembar identik bahkan. Tapi cuma secara appearance aja. Selain itu, we were totally different."
"Dari kecil fisik Aldo lebih kuat dibanding aku. Jadi papa lebih sering ngajak Aldo keluar, ya walaupun cuma sekadar joging atau liat prajurit latihan. Dari situ juga, aku jadi lebih sering bareng mama. Bahkan aku udah kayak maskotnya ibu-ibu persit kalau pas kumpul-kumpul ahahaha."
Walaupun tertawa, Aya tahu itu bukan tawa tulus.
"Entah emang bakat alami kita atau hasil dari konstruksi orang-orang di sekitar, lama-lama kita jadi dua orang yang sangat berbeda."
"Aku lebih suka masak, gambar, musik, dan hal-hal berbau kesenian. Sedang Aldo, dia sangat jago di bidang olahraga dan ya, secara alamiah dia lebih pintar dari aku."
Aldi mengelus rambut Aya saat istrinya tampak menyimak dengan serius.
"Kamu tau kan Ay, apa yang aku sukai itu bagi orang mungkin tidak cocok untuk dilakukan laki-laki."
Aya menggeleng refleks.
"Hahaha ya, zaman sekarang emang udah cair. Tapi dulu apa yang wajar untuk dilakukan cowok dan cewek itu seolah udah dikotak-kotakkan. Dan jago olahraga jelas lebih manly dibanding jago masak."
Aldi tersenyum saat merasakan genggaman tangan Aya menguat.
"Apalagi aku hidup di lingkungan prajurit, jelas bagi mereka Aldo lebih baik dibanding aku."
"Did you hate him?"
Aldi menggeleng.
"Definitely no. Ya awalnya mungkin aku iri sama dia karena papa lebih perhatian ke Aldo. Tapi lama-lama aku sadar kalau kita emang punya bakat masing-masing."
"Bahkan sejak SMP kita mulai tukeran peran. Dia akan masuk di kelas olahraga dan aku akan masuk ke kelas keseniannya. Itu berlanjut sampai kami SMA. Dari dulu, tiap ada acara berbau olahraga atau bela diri, Aldo yang akan maju. Sebagai gantinya aku yang akan ngerjain tugas dia, itu yang bikin aku harus rajin belajar dan akhirnya bisa dibilang lebih pintar dari dia."
"For your information, dulu papa mewajibkan kami ikut kelas bela diri dan olahraga, jelas aku enggak suka keduanya. Aldo sendiri sangat suka sama olahraga dan bela diri, jadi dia enjoy-enjoy aja gantiin aku. Untung aja wajah kita sama, jadi enggak ada yang sadar kalau kami sering tukeran peran."
Aldi terdiam. Membuat Aya menatapnya penasaran.
"Suatu hari, ada turnamen futsal di sekolah. Seperti biasa kita tukeran peran. Aku di rumah ngerjain tugasnya Aldo, dia ke sekolah ikut turnamen."
"Sayangnya, Aldo kecelakaan saat mau balik rumah."
Aya melihat sorot kesedihan di mata Aldi.
"Kita yang di rumah panik, Ay. Tanpa pikir panjang papa ajak kita semua ke rumah sakit. Kamu tau apa yang papa bilang waktu di mobil?"
Aya menggeleng, ia tidak tahu. Namun, ia menebak ini bukan hal yang enak untuk didengar.
"Untung yang kecelakaan Aldi bukan Aldo. Itu yang papa bilang waktu perjalanan ke rumah sakit."
Aldi menghela napas. Aya tertohok, ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Aldi saat itu.
"Papa masih belum sadar kalau yang di mobil itu bukan Aldo. Aku emang masih remaja awal SMA saat itu Ay, tapi aku tidak bodoh buat tahu kalau emang hanya Aldo yang papa harapkan. Itu jadi hal paling menyakitkan dari semua ucapan papa selama lima belas tahun lebih aku hidup. Tapi semua makin menyakitkan saat kami tiba di rumah sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
A [Completed]
Romance"Jangan liatin gue kayak gitu, gue ga suka." Ucap Aya terang-terangan. "Aya," panggilan itu entah kenapa terasa berbeda, Aya menjadi gugup. "Hm?" Aldi justru kembali diam, lagi-lagi malah menatapnya. "Kak sumpah gue ga suka ditatap lawan jenis begin...