Setibanya di rumah sakit, Aya menghentikan langkahnya saat melihat pertengkaran Aldi dengan pria paruh baya yang kemungkinan besar adalah papanya. Terlihat dari wajah keduanya yang sangat mirip.
"Papa tetap bawa Ais."
"Aldi minta maaf karena lalai jagain Ais. Tapi enggak bisa gitu Pa, sekolah Ais gimana? Dia baru masuk SMA, lho," tukas Aldi cepat.
"Justru karena Ais baru kelas sepuluh, jadi tidak masalah pindah sekolah sekarang."
"Pa, Aldi janji akan jagain Ais. Jangan bawa Ais." Aldi tampak bersikukuh menolak keputusan ayahnya.
"Kamu juga bilang gitu dulu, buktinya sekarang Ais sampai seperti ini. Tanpa persetujuan kamu pun, Papa berhak bawa Ais."
"Aldi enggak mau Ais mengalami apa yang Papa lakukan ke Al. Cukup Aldi Pa, jangan Ais."
"Papa ini orang tuanya, terserah Papa mau mengatur Ais gimana. Papa justru khawatir dia jadi ikut membangkang seperti kamu!"
"Kapan Al enggak ngikutin kemauan Papa? Cukup Al yang menderita selama ini, jangan Ais."
"Tahu apa kamu soal menderita?! Papa melakukan ini biar kalian jadi orang berhasil. Pokoknya Papa akan bawa Ais!"
"Aldi akan melakukan apa pun asal Papa enggak bawa Ais. Papa mau aku coba daftar tentara lagi? Okay, tahun ini aku daftar!"
Aya yang mengamati dari koridor rumah sakit ikut merinding mendengar suara rendah penuh penekanan itu. Ditambah raut wajah serius Aldi yang menurut Aya terlihat menyeramkan.
Saat pria paruh baya itu meninggalkan Aldi, Aya masih berdiri mengamati pemuda itu. Sayangnya tatapan mereka tiba-tiba bertemu. Aldi masih dengan tatapan tajamnya dan Aya yang menatap sendu. Ia tidak biasanya terlalu peduli dengan hal-hal di sekitarnya. Namun kali ini, entah kenapa ia merasa sedih melihat kejadian barusan. Ia makin merasa bersyukur memiliki ayah yang luar biasa. Yang membebaskannya memilih apa yang ia ingin lakukan. Betapa berharganya sosok ayah bagi hidup Aya.
"Pak Joko sudah dipindahkan ke ruang rawat, ayo gue antar."
Aya hanya mengangguk. Ia bingung harus berpura-pura tidak tahu atau justru menunjukkan empatinya pada Aldi. Namun, kalau ia jadi Aldi, ia akan merasa tak suka jika ada orang asing yang ikut campur masalahnya. Jadi, ia akan pura-pura tidak tahu saja.
"Kenapa enggak telepon kalau ayah sudah dipindahkan?"
Aldi menghela napas lelah. "Dipindahinnya barusan. Gue mau langsung telepon lo, tapi tadi ... gue yakin lo udah lihat."
Aya mengangguk.
"Terima kasih," ucap Aya begitu sampai di depan kamar rawat inap ayahnya.
Aldi hanya berdeham singkat. Lalu pemuda itu sudah hendak melangkah pergi, tetapi tiba-tiba berbalik lagi.
"Lo bawa berkasnya?"
Aya mengangguk. "Mau dipakai sekarang?"
Kini giliran Aldi yang mengangguk.
"Masuk dulu, berkasnya ada di tas, susah ambilnya."
Saat memasuki ruangan, Aya sadar ayahnya mendapat fasilitas yang sama dengan Aisyah. Ini ruang rawat VIP. Kalau saja biaya rumah sakit tidak ditanggung keluarga Aisyah, ia yakin ayahnya saat ini ada di ruang rawat kelas tiga. Mereka mana punya uang untuk membayar ruang rawat yang lebih mirip seperti kamar hotel ini.
Akan tetapi, Aya lebih memilih tidak mendapat fasilitas ini, dibanding melihat alat-alat yang menempel di tubuh ayahnya. Jujur, pertama kali melihat ayahnya terbaring lemah di rumah sakit membuat Aya jadi takut. Apalagi ini seperti film-film di mana sang aktor mengalami sakit parah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A [Completed]
Romance"Jangan liatin gue kayak gitu, gue ga suka." Ucap Aya terang-terangan. "Aya," panggilan itu entah kenapa terasa berbeda, Aya menjadi gugup. "Hm?" Aldi justru kembali diam, lagi-lagi malah menatapnya. "Kak sumpah gue ga suka ditatap lawan jenis begin...