10

21.1K 1.8K 18
                                    

"Kak, bangun ih, udah subuh."

Aya kesal karena pemuda itu tak terusik sama sekali dengan suaranya. Akhirnya ia memberanikan diri untuk menyentuh lengan Aldi. Jantungnya berdetak makin kencang. Untuk pertama kalinya, ia bersentuhan dengan non mahram secara sadar. Namun, pemuda ini sekarang suaminya. Jadi sah-sah saja, jika ia menyentuhnya, 'kan?

"Kak Al, banguuun," sungut Aya sambil menggoyangkan lengan Aldi.

"Sebentar Ais, lima menit lagi."

Aya menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. Ia baru tahu bahwa membangunkan orang akan sesulit ini. Aldi jelas belum terbangun. Bahkan pemuda itu tidak sadar kalau bukan Ais yang membangunkannya.

"Kak cepetan, keburu ikamah," titah Aya masih berusaha membangunkan Aldi. Tak lupa tangannya yang sudah mencubit lengan pemuda itu yang ternyata cukup manjur. Terbukti saat Aldi langsung terduduk dengan mata masih terpejam.

"Aaaa sakit, apaan sih Ais? Aba—" ucap Aldi terpotong saat mendengar Aya mengomel dan menatap tajam ke arahnya.

"Buruan melek, ambil wudu terus salat jamaah di masjid depan!"

"Aya? Gue kok di—"

"Gue kok, gue kok, yang semalam maksa nginep siapa? Buruan Kak, keburu ikamah," pungkas Aya cepat. Namun, Aldi justru kembali rebahan.

"Kakak!" omel Aya kali ini emosinya sudah memuncak.

"Iya, iya, kamar mandi di mana?"

Aldi beranjak dari posisi rebahannya dan melangkah menuju kamar mandi yang ditunjuk Aya.

Salat subuh berjamaah telah usai. Aldi bergegas pulang ke indekos Aya masih dengan wajah kantuknya dan menguap saat telah sampai. Sejenak, Aldi bernostalgia pada kebiasaan bangun siangnya saat belum menikah dengan Aya. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali bangun sepagi ini. Ia memang tertib salat, tetapi untuk subuh tergantung bangun pukul berapa. Kalau pun bulan ramadan, ia akan tidur lagi setelah sahur. Sungguh tidak patut ditiru!

Memasuki kamar, ia melihat Aya yang sedang melipat mukenanya.

"Mau ke mana?" tanya Aldi saat Aya berjalan melewatinya.

"Bantu Ibu Kos jualan nasi," respons Aya singkat.

Aldi terlihat kebingungan.

"Terus gue ngapain?"

"Terserah, lo mau di sini boleh, lo mau balik juga boleh banget. Nanti kunci ditaruh di bawah pot aja. Gue pamit. Assalamu'alaikum," pamit Aya. Lalu tanpa menunggu respons Aldi, Aya sudah melangkah keluar dari indekosnya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Aldi memutuskan tak langsung pulang. Ia ingin melihat-lihat terlebih dahulu isi indekos Aya. Tadinya ia pikir tak akan nyaman tinggal di indekos sempit ini. Namun ternyata, ia bisa-bisa saja tidur nyenyak. Bahkan kalau di rumahnya ia baru bisa tidur pukul satu atau dua pagi. Itulah sebabnya ia selalu bangun siang. Ajaibnya kemarin, ia tak menyangka bisa tidur pukul sembilan malam. Sungguh pencapaian yang luar biasa.

Saat melihat-lihat koleksi buku Aya, Aldi menemukan selembar kertas yang membuatnya menghela napas lelah. Ia sadar Aya belum bisa menerima pernikahan ini, tetapi ia tidak akan tega membiarkan Aya menanggung beban hidupnya sendiri.

"Jadi dia butuh uang segini. Ck, anak itu benar-benar. Bagaimana mungkin dia mau melakukan semua ini sendiri?"

•••

"Lo masih di sini?" Aya terkejut saat melihat Aldi masih di indekosnya.

"Assalamu'alaikum," sindir Aldi yang sedang bermain ponsel di ruang tamu.

A [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang