"Lo kok kenal Pak Kris, Kak?"
Aldi yang sedang sibuk dengan berbagai perkakas memasak, tak begitu mendengar pertanyaan Aya sehingga ia hanya sekadar menggumam.
"Apaan sih? Yang jelas ah," gerutu Aya sedikit kesal pertanyaannya hanya dibalas gumaman tak jelas Aldi.
"Lo ngomong apa tadi?" tanya Aldi setelah mematikan kompor.
"Itu, lo tadi kok kayaknya udah kenal dekat sama Pak Kris," lanjut Aya kembali bertanya.
"Beliau banyak membantu gue saat kuliah di luar. Waktu itu beliau lagi ambil S-3, karena sama-sama orang Indonesia, jadi ya lebih akrab gitu. Bahkan gue dulu sering numpang tidur sama makan di rumah beliau. Kebetulan dulu istri sama anaknya juga ikut ke sana. Jadi kalau main ke rumah beliau berasa sama keluarga."
"Serius? Padahal Pak Kris nyebelin kalau ngajar."
"Lo ambil matkulnya?" tanya Aldi sambil membagi masakannya di dua piring yang sudah Aya siapkan.
"Ya gitu, dari semester kemarin ketemu beliau terus. Tugasnya subhanallah, tidak manusiawi. Belum lagi kalau ujian, enggak nyampe otak gue," keluh Aya.
Aldi melirik Aya sekilas dengan tatapan tak percaya. "Masa sih? Sejauh ini beliau justru partner diskusi gue yang paling nyambung."
"Dasar otak gue yang enggak nyampe aja mungkin, ya?"
"Auuu!" pekik Aya saat Aldi menyentil dahinya.
"Lo aja yang males belajar."
Salah satu yang Aldi sadari seiring kebersamaan mereka adalah kemalasan Aya yang sepertinya sudah mendarah daging. Padahal menurut Aldi, gadis itu cukup cakap dalam melakukan sesuatu, tetapi magernya itu loh, astagfirullah.
"Kata ayah, enggak apa Aya males belajar, tapi Aya harus bisa tanggung jawab sama kemalasan itu," ucap Aya menirukan perkataan ayahnya saat dahulu beliau berpesan padanya.
Aldi mengerutkan dahinya penasaran dengan jawaban Aya. "Gimana cara lo tanggung jawab emang?"
"Dengan mengimplementasikan dan membagikan apa yang Aya dapatkan selama belajar. Jadi ilmunya enggak berhenti di Aya aja. Percuma pinter, kalau buat diri sendiri. Kurang berkah. Begitu."
"Kalau rajin belajar kan ilmunya makin banyak, jadi berbaginya juga makin banyak. Pahalanya makin banyak, yang dapat manfaat makin luas. Bukankah begitu, Bun?" sahut Aldi menirukan panggilan bunda yang biasa dilakukan oleh para cewek zaman sekarang.
Aya sedikit melotot mendengar itu, tetapi Aya tidak membantah dan justru menambahkan, "Sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit."
"Ngeles aja lo."
Aya hanya menyengir.
"Kak?"
"Hm?"
"Enggak jadi deh," balas Aya pelan yang membuat Aldi menatap Aya menyelidik.
"Apaan?"
Aya menggeleng. "Enggak jadi."
"Gaje lo," decak Aldi malas.
"Biarin."
Aldi mengembuskan napas panjang lalu menyuruh Aya untuk diam. "Udah diam makan."
"Lo juga diam makan,"
"Iya ini lo ngomong jadi gue bales."
"Udah ih makan buruan."
"Iya ini makan," balas Aldi. Lalu mereka berdua mulai melahap makanannya masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
A [Completed]
Romance"Jangan liatin gue kayak gitu, gue ga suka." Ucap Aya terang-terangan. "Aya," panggilan itu entah kenapa terasa berbeda, Aya menjadi gugup. "Hm?" Aldi justru kembali diam, lagi-lagi malah menatapnya. "Kak sumpah gue ga suka ditatap lawan jenis begin...