Aya baru saja memarkirkan motornya di parkiran khusus yang memang tersedia di indekosnya. Ia menunduk sopan saat melewati ibu-ibu arisan di teras rumah Ibu Kos. Letaknya memang ada di dekat tempat Aya memarkirkan motornya. Maka tak heran sekarang ini Aya tengah menjadi pusat perhatian ibu-ibu.
"Mari ibu-ibu," sapa Aya sopan. Walau malas berbasa-basi, Aya masih punya tata krama. Ia merasakan tak nyaman, karena sejak memasuki gerbang indekos, kumpulan ibu-ibu ini mengamatinya seperti singa mengincar mangsa. Benar sih, mangsa untuk dijadikan bahan gosip.
"Neng Aya dari mana atuh?" tanya salah satu ibu-ibu itu yang ia tahu bernama Bu Tina. Sepertinya beliau yang memimpin perkumpulan gosip ini.
"Dari ngajar privat, Bu." Aya menjawab dengan menampilkan senyum ramahnya.
"Oh ngajar privat toh, saya kira apa. Padahal ayahnya belum ada tujuh hari meninggal sudah berani keluyuran ya. Ck, dasar anak zaman sekarang," sindir Bu Tina seraya meliriknya sinis.
Aya masih mempertahankan senyum ramahnya meski dalam hati ia mencoba untuk meredam emosi.
"Ya gimana lagi Bu, saya butuh uang buat lanjut hidup," sahut Aya frontal masih dengan senyuman dan hendak berlalu dari sana. Namun urung, saat ada sahutan yang mengganggu pendengarannya.
"Enggak nyangka ya, demi dapat uang, sampai rela ngapain aja. Jadi cewek nakal juga mau," celoteh Bu Tina kembali menyindir Aya.
"Husss, jangan asal ngomong atuh. Fitnah nanti," timpal suara ibu-ibu lainnya.
"Fitnah apanya, Mbakyu? Wong saya lihat sendiri sejak Pak Joko meninggal sering ada cowok nyamper. Bahkan sampai nginep loh ibu-ibu," lanjut Bu Tina sambil mengompori ibu-ibu lainnya.
"Apa iya, Bu? Enggak ah, Neng Aya anak baik-baik atuh," sanggah suara lainnya lagi.
Bu Tina makin menjadi dalam mengompori Aya dan melanjutkan celotehannya, "Penampilannya saja yang kelihatan baik, aslinya kita mana tau, Bu. Padahal ayahnya teh orang baik, ngerti agama. Bisa-bisanya anaknya gitu. Nakal, bawa cowok ke kos."
Aya mengembuskan napas kemudian berbalik. Ia lelah, ingin segera mandi dan rebahan sebentar. Namun sepertinya tidak akan sesuai yang ia harapkan. Tak masalah ibu-ibu itu membicarakannya, ia masa bodoh dengan itu. Namun, ini sudah keterlaluan karena ikut membawa nama ayahnya juga.
"Maaf Bu Tina, tidak baik menuduh orang tanpa bukti. Apalagi Ibu tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya," bantah Aya sopan, tetapi dengan tatapan tajam.
"Lho, tanpa bukti apanya, Neng? Wong saya lihat sendiri sering ada cowok bawa mobil nyamper ke kos Neng Aya. Bahkan subuh-subuh saya lihat ada cowok masuk ke kos. Tadi malam Neng Aya juga ada di kos, 'kan? Bukan salah saya dong kalau menyimpulkan seperti ini?" ketus Bu Tina panjang lebar. Aya mengapresiasi Bu Tina yang sangat perhatian sampai repot-repot mengamatinya 24 jam.
Saat Aya ingin membalas ucapan itu, Ibu Kos tiba-tiba keluar dari rumahnya dan menginterupsi ketegangan yang ada.
"Kenapa ini? Udah balik, Ay?"
"Udah Bu. Aya pamit ke dalam dulu. Assalamu'alaikum." Aya pamit pada Ibu Kos lalu beranjak pergi. Namun, ia masih bisa mendengar keterkejutan ibu-ibu saat Ibu Kos memberitahu kalau Aya sudah menikah.
Enggak penting Ay, jangan pikirkan, ucap Aya dalam hati lalu melenggang masuk ke dalam indekosnya.
Saat sudah membersihkan diri di kamar mandi dan lanjut rebahan di kasurnya, Aya mengecek notifikasi yang masuk di ponselnya. Benar saja, ada pesan masuk dari Ridwan.
Ridwan
Ay, jadinya lanjut enggak?
Pesan itu dikirim sekitar dua jam lalu. Mungkin saat Aya masih mengajar. Ia baru ingat bahwa harus konfirmasi soal sewa indekos pada Ridwan secepatnya. Maka sekarang saja Aya memutuskan pilihan itu. Toh, Aldi sudah setuju pada keputusannya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
A [Completed]
Romance"Jangan liatin gue kayak gitu, gue ga suka." Ucap Aya terang-terangan. "Aya," panggilan itu entah kenapa terasa berbeda, Aya menjadi gugup. "Hm?" Aldi justru kembali diam, lagi-lagi malah menatapnya. "Kak sumpah gue ga suka ditatap lawan jenis begin...