Hari ini begitu melelahkan untuk Aya. Mengurus pembaruan dari kantor pencatatan sipil sampai ke kantor dinas kota, kemudian ke bank, lanjut ke kampus. Sekarang sudah pukul empat sore dan ia baru sampai di indekosnya. Aya masih harus ke rumah Om Haris nanti malam jika ingin semua selesai hari ini jadi ia bisa mulai fokus mencari uang besok. Tanpa sadar, Aya tersenyum bangga saat menyadari ia bisa melakukan hal ribet ini sendiri.
"Aya bisa ayah. Aya pasti bisa, ayah tenang aja. Aya akan baik-baik di sini."
Setelah mandi dan salat magrib, Aya bergegas ke rumah Om Hasan. Ia pikir lebih baik menyelesaikan urusannya hari ini saja. Aya menarik napas dalam sebelum turun dari motor untuk memencet bel. Belum sempat ia melangkahkan kaki menuju bel rumah itu, gerbang di depannya terbuka.
"Eh Ay, mau masuk?" tanya Habib yang membuka pintu gerbang.
"Iya, Bang," jawab Aya kikuk.
"Cari siapa?"
"Mau ketemu Om Haris." Habib mengangguk dengan senyum manisnya.
"Oh ya udah, masuk aja nanti biar gue yang tutup gerbangnya. Abi ada kok."
"Makasih, Bang," ucap Aya seraya tersenyum.
Saat memasuki gerbang, Aya dibuat kagum dengan halaman depan rumah ini. Berbagai tanaman bonsai dan tanaman hias lain di tata sedemikian rupa membuat halaman terlihat asri. Teras rumah juga sudah sangat berbeda dari terakhir kali Aya ke sini tiga atau empat tahun yang lalu. Saat ia mengetuk pintu, seorang gadis kecil dengan malu-malu mengintip di balik gorden. Aya tebak itu adalah Hilda, adik bungsu Bang Habib. Tak lama Hafidz—anak kedua Om Haris membukakan pintu.
"Assalamu'alaikum," salam Aya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Silakan masuk." Aya mengangguk seraya mengikuti Hafidz.
"Duduk dulu Kak, maaf ya berantakan. Kakak ini temennya Abang ngajar ngaji di masjid kampung, 'kan?"
Aya mengiyakan dan mengangguk pelan.
"Abang lagi pergi sebentar, katanya mau beli lem atau apa gitu. Cuma di warung depan kok," jelas Hafidz.
"Iya, tadi ketemu di gerbang. Sebenarnya saya mau ketemu Om Haris." Aya tersenyum kecil.
"Oh Abi ya, ada kok. Tunggu sebentar ya Kak, saya panggilkan."
"Makasih ya," ucap Aya sebelum Hafidz pergi memanggilkan Om Haris.
Ini pertama kalinya ia mengobrol dengan Hafidz. Setahu Aya pemuda itu belajar di pesantren sejak masuk SMA. Mungkin saat ini sedang libur.
"Ini Neng Aya? Masyaallah sudah besar sekarang, cantik lagi."
Aya tersenyum canggung kemudian menyalami Tante Hasna dan mengangguk sopan pada Om Haris.
"Kami turut berduka ya Neng, maaf kemarin kami jemput Hafidz di pondok jadi ndak bisa hadir ke pemakaman ayah Neng. Rencana besok kita sekeluarga mau ke sana, eh Neng Aya malah yang ke sini. Ayah kamu itu baik Ay, semoga beliau husnul khatimah dan diterima amal kebaikannya."
"Aamiin, terima kasih, Tante." Aya mengaminkan doa Tante Hasna.
"Ayahmu itu teman Om dari zaman sekolah, Ay. Om kaget waktu di telepon Habib bahwa Joko meninggal dunia. Rasanya masih enggak nyangka. Dia temen baik Om."
"Maaf menyela, silakan diminum, Kak."
Aya mengangguk sambil tersenyum pada Hafidz yang meletakkan segelas teh hangat untuknya. "Terima kasih."
"Kata Hafidz tadi Aya mau ketemu Om?"
Aya mengangguk dengan tersenyum kecil.
"Begini Om, Tante, setelah ayah meninggal, ahli warisnya hanya saya. Setahu saya, ayah pernah berutang pada Om Haris untuk biaya masuk kuliah saya setahun yang lalu. Aya ingin meluruskan masalah itu, Om," jelas Aya pada Om Haris mengenai kedatangannya ke rumah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A [Completed]
Romance"Jangan liatin gue kayak gitu, gue ga suka." Ucap Aya terang-terangan. "Aya," panggilan itu entah kenapa terasa berbeda, Aya menjadi gugup. "Hm?" Aldi justru kembali diam, lagi-lagi malah menatapnya. "Kak sumpah gue ga suka ditatap lawan jenis begin...