v

1.6K 207 12
                                    

Vigi beranjak dari tempatnya tidur. Semalam ia berusaha memejamkan mata dengan tenang, tapi sayangnya bayangan soal Ibu dan Ayah Calum seketika memenuhi otaknya, terlebih Calum membawa gadis itu tidur di kamar orang tuanya.

Semalam seusai kejadian dimana Calum menangkup kedua pipi Vigi, gadis itu kehabisan kata-kata. Dia hanya bisa terdiam, memandangi betapa sempurna garis wajah lelaki itu dan berdoa agar moment seperti itu akan sering didapatkannya. Sampai pada akhirnya Calum bangkit dan terduduk disamping Vigi.

Mereka dengan kurang kerjaannya menghitung bintang di langit yang jumlahnya tak terhingga. Sampai akhirnya Vigi mengantuk dan tertidur di halaman belakang. Vigi berani bertaruh jika semalam Calum yang menggendongnya kembali ke kamar, melihat jaket Calum yang dibiarkan membalut tubuhnya membuat gadis itu makin yakin.

Pada tengah malam, Vigi terbangun. Dia berusaha tidur kembali sampai jam 3 pagi. Entah apa yang membuatnya jadi mengingat kedua orang tua Calum. Tapi sejujurnya gadis itu takut sendirian. Dia merasa seakan sedang diawasi oleh sepasang mata.

"Good morning!" Calum menggeliat dengan tangan yang dibiarkan terangkat ke udara sambil menguap.

"Good morning! Nice sleep? Uh?" Vigi yang sedari tadi sibuk di dapur langsung menoleh. Bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Really nice. Oh ya, aku seperti hidup kembali setelah tertidur selama seratus tahun." lelaki itu melompat dengan lincah keatas sebuah sofa di ruang tengah.

"Kau berlebihan, Cal. Mau aku buatkan teh atau kopi?" tanya Vigi sembari menatap kearah Calum.

"Tidak keduanya. Aku mau secangkir cinta dan secuil ciuman untukku." kali ini perkataannya sukses membuat pipi Vigi memerah dan bibirnya pun bergetar. Dia kehabisan kata-kata sementara Calum malah tertawa terbahak, "Sialan." batin Vigi.

"Apa ingatanmu sudah kembali?" seketika Vigi berbalik. Dia meraih cangkir teh dan meletakkannya diatas meja. Gadis itu mulai memasukkan kopi dan gula ke dalam cangkir lalu menuangkan air panas kedalamnya.

Mengetahui pertanyaannya yang tak kunjung di respon Vigi kemudian menambahkan. "Mungkin kau butuh terapi?"

Gadis itu berjalan mendekat dengan dua buah cangkir berisi minuman kopi di kedua tangannya. Vigi menyodorkan secangkir untuk Calum, "Calon istri yang baik." gumam lelaki itu.

"Apa kau bilang?" Vigi membelalak. Seketika Calum terdiam lantas memberikan sebuah cengiran yang tak begitu penting. "Kau cantik hari ini dan aku suka."

"Jangan suka merayuku." Vigi meletakkan bokongnya diatas sofa kemudian mulai menikmati kopi buatannya.

"Ingatanku sudah kembali. Ya, setidaknya beberapa persen dari ingatanku yang lama. Apa kau bahagia sekarang?" Calum tersenyum kecil, pun tangannya mulai bermain pada permukaan cangkir berisi kopi buatan Vigi.

"Bahagia? Tentu saja Calum! Itu artinya kau bisa cepat kembali ke tempat ini." Vigi tersenyum dengan berat hati. Bukan itu yang sebenarnya diinginkan oleh gadis itu. Vigi bahkan tak ingin Calum pergi dari kehidupannya setelah apa yang telah mereka lalui bersama.

"Karena aku sudah kembali dengan beberapa ingatanku, aku ingin bertanya sesuatu." Calum menjeda perkataannya, kemudian Vigi menatap seakan mendesak lelaki itu untuk melanjutkan, "Aku ingat kalau Luke dan Michael pernah merebutkanmu waktu di sekolah dulu. Michael, si dye-hair yang terakhir kali seingatku memiliki rambut berwarna merah menyala."

Ketika itu Vigi tersadar, bahkan dia sudah melupakannya, tapi Calum malah mengingatnya?

"Sebenarnya siapa yang ingin ingatannya kembali? Kau atau aku?"

"Tapi tanpa kau menjawab pertanyaanku, aku tak bisa percaya jika hal itu sudah terjadi atau memang bayangan semu di otakku saja, Vi." lelaki itu menggeleng. Dia mulai menyeruput kopi miliknya, "Kopi buatanmu enak." timpalnya sembari tersenyum.

Vigi tampak bingung harus menjawab apa, tapi kemudian dia sadar bahwa jawabannya akan berguna untuk Calum. "Yah, dulu sempat menjadi bahan pembicaraan semua orang. Dan kau yang menjadi penengah antara Luke dan Michael. Akhirnya aku memilih Luke tapi Michael tetap berteman baik denganku."

Calum berdecak, "Aku tak menyangka."

"Aku tahu sebentar lagi kau akan mengejekku." sahut Vigi yang seketika sadar.

"Lalu aku ingat lagi tentang acara band di sekolah. Sepulang dari sana kau pergi berkencan dengan Luke di Madelyn's Pub kan? Sialan! Di usia semuda itu kalian sudah masuk Pub?" imbuh Calum lagi.

Jika disuruh mengingat kejadian itu, Vigi seketika bergidik. "Demi apapun Cal, itu kejadian paling menggelikan seumur hidupku. Kenapa kau malah mengingatnya sih?"

"Entahlah, Vi. Itu kan hasil semediku semalam sebelum tidur."

Bagaikan diingatkan oleh sesuatu, Vigi menyeringai kecil. "oh, aku semalam ketakutan tidur di kamar orang tuamu."

"Kenapa?" Calum tampak menaikkan sebelah alisnya.

"Apa mungkin orang tuamu tak suka dengan keberadaanku disini? Aku merasa---diawasi?" Vigi berkata dengan keraguan di balik pertanyaannya.

Calum menggeleng, "Kau percaya hantu? Serius Miss. Townsley, kau percaya arwah orang tuaku gentayangan?" tepisnya.

"Bukan begitu maksudku, Mr. Hood. Tapi kau tahu lah, rumah ini kosong selama satu tahun. Kau ingat kan seberapa banyak debu yang menumpuk? Dan tentu saja---"

"Tentu saja apa?" seloroh Calum.

Pun akhirnya Vigi mengedikkan bahu kemudian menggeleng, "Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja."

"Eh, aku ingat sesuatu." kemudian lelaki itu melanjutkan dengan nada antusias sementara Vigi berdeham, "Aku ingat kalau dulu aku sering mengambil coklat pemberian Luke untukmu?" lanjutnya.

Ingatan Calum hampir kembali, dia mengingat peristiwa itu yang berarti semakin lama ingatan tentang asal-usul keluarganya pun juga akan terungkap.

"Ya. Dan itu menyebalkan asal kau tahu." Vigi menatap lurus kearah Calum dengan tatapan yang seolah menyudutkan lelaki itu karena sikapnya dulu.

"Menyebalkan. Tapi kau menyukaiku." Calum membalas tatapan Vigi penuh rasa kemenangan. Lelaki itu tahu, sekeras apapun usaha Vigi untuk menyembunyikan semburat merah di pipinya, semuanya masih tetap terlihat.

"Kata siapa?"

"Aku yang mengatakannya, Vigi." dengan waktu dan kesempatan yang ada, Calum mendekatkan bibirnya kearah Vigi. Tapi beberapa detik kemudian, gadis itu menghindar.

"Bukan saat yang tepat." ujarnya sembari bangkit dan berjalan menuju dapur.

"Kenapa?" seru Calum tak merubah posisinya.

"Aku tak bisa mengatakannya sekarang. Lagipula nantinya kau akan tahu."

Mind ツ c.hood ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang