Suasana seketika menegang ketika Vigi tak siap mendengar perkataan Calum barusan. Menurutnya ini terlalu cepat, dan bukannya Vigi tak menyukai Calum atau apa, bahkan Vigi juga mencintai lelaki itu. Namun dia punya satu rahasia yang harus di tutupinya rapat-rapat agar Calum tak segera mengetahuinya.
"Kau kenapa Vi?" Calum membelai lembut sebelah pipi gadis itu dengan sentuhannya yang berhasil membangkitkan sesuatu dalam diri Vigi --- sesuatu yang sejak satu tahun lalu mulai tumbuh.
"Aku harus menyelesaikan tugas pertamaku."
Calum mengerutkan kening, lagi-lagi tak mengerti. Dalam pandangannya Vigi sedang menyembunyikan sesuatu. Namun tetap seperti tipe Calum yang tak pernah ambil pusing dalam menerima kenyataan di hidupnya.
"Apa tugas pertamamu?"
Kemudian Vigi menghembuskan napas beratnya, "Tentu saja mengembalikan ingatanmu Cal."
"Tapi kenapa harus begitu? Maksudku, kau hanya perlu menjawab--- apakah kau mencintaiku?" Calum kembali mengulang pertanyaannya tadi.
"Cal, aku juga mencintaimu---asal kau tahu." kedua tangan Vigi menangkup kedua pipi Calum kemudian mengusapnya. "Aku juga mencintaimu." bisiknya lagi dengan suara yang terdengar meyakinkan.
"Lalu, kenapa harus mengelak?"
Vigi menurunkan tangannya kearah pundak, Calum yang masih terdiam sebenarnya masih menerka. "Aku sudah mengatakannya padamu, aku harus menyelesaikan tugasku."
"Tapi aku tak ingin menunggu. Aku sudah menunggumu beberapa bulan dan hasilnya aku harus menunggu lagi? Ini tak adil, Vi." tangan lelaki itu tertaut pada sisi kanan dan kiri pinggang Vigi. Membuat gadis itu sedikit tak nyaman, namun beberapa waktu kemudian Vigi mulai merapatkan tubuhnya kearah Calum.
"Benarkah? Aku tak pernah berpikiran soal ini." tanya Vigi meyakinkan, Calum tersenyum kecil. Dia menarik dagu Vigi mendekat kearahnya, bibirnya pun nyaris menyentuh bibir gadis itu tak kala Vigi memilih untuk memalingkan wajahnya dan bangkit.
Gadis itu berdiri sambil berkacak pinggang, "Kau harus membantuku dulu. Mau aku buatkan teh?"
"Ya ya ya. Akan aku bantu." Calum mendengus kesal lalu mengikuti kemana arah jalannya Vigi. Gadis itu memilih dapur sebagai tempat pertamanya.
Di tempat yang menghadap ke halaman belakang tersebut, Calum terduduk diatas kursi yang mengelilingi meja pantry. Sementara itu, Vigi tengah sibuk memanaskan air dalam teko yang kebetulan kompor di rumah lama ini masih menyala.
Vigi mengulang tentang memori masa lalunya. Harus diakui bahwa sejak masih remaja, Vigi menyukai Calum. Rasa suka itu berkembang menjadi cinta seiring berjalannya waktu. Terlebih saat Calum mulai kehilangan ingatannya dan tinggal bersama Vigi di rumah ibunya.
Namun gadis itu tak pernah berpikir bahwa nantinya Calum akan jatuh cinta padanya, bahkan dia seakan mencegah hal itu terjadi.
"Vi, aku ingat sesuatu soal tempat ini." ujar Calum penuh rasa semangat. Seketika itu Vigi menoleh, membiarkan air di dalam teko yang setengah mendidih itu pada tempatnya.
"Yah, aku ingat. Di tempat inilah aku biasa terduduk untuk menunggu Mom selesai memasak. Astaga Vi! Baru beberapa menit kau membawaku ke tempat ini, tapi beberapa ingatanku sudah kembali?" Vigi tersenyum mendengar ocehan Calum. Tujuan awal memang mengembalikan memorinya, dan sebenarnya Vigi tak terlalu menaruh harapan besar soal ini. Karena yang terpenting dia dan Calum bisa menemukan beberapa dokumen penting seperti album foto dan lainnya.
"Syukurlah kalau ideku mengembalikanmu ke tempat ini hampir berhasil." Vigi terkikih.
Suara mendesis dari teko yang menandakan air telah mendidih langsung membuyarkan konsentrasi Vigi. Dia segera berpaling dan langsung menuangkan air panas itu kedalam cangkir.
Asap yang mengepul dari dalam cangkir diiringi suara berdenting dari sendok yang digunakan untuk mencampur gula pasir dan cairan teh itu membuat Vigi segera menyajikannya di hadapan Calum.
"Mumpung masih panas." katanya.
"Kau sengaja membuat tenggorokanku terbakar? Tentu saja kita akan menunggunya sampai mendingin."
"Kalau dingin tidak enak, Cal."
"Vi," panggilnya, mencoba mengalihkan pembicaraan soal teh yang menurut Calum tak penting. "Apa?" sahut Vigi langsung pada point.
"Kau benar mencintaiku? Entahlah, tapi aku merasa bahwa kau punya masa lalu bersamaku. Kita pernah dekat, dulu." jemari lelaki itu menempel di dinding luar cangkir, untuk menghilangkan sedikit rasa gugupnya. Rasa panas dari cangkir itu punya rangsang tersendiri bagi Calum.
Namun Vigi menggeleng, seakan menepis pernyataan Calum barusan, "Aku hanya pengagum dari kejauhan. Tak lebih, Cal. Kau tahu aku ini gadis rumahan dan tak punya banyak teman. Tapi kau berbeda--- kau lelaki populer dan pandai dalam segala hal."
"Aku? Astaga, aku ingat sesuatu. Ya! Aku ingat dulu aku pernah ikut club sepak bola di sekolah, benar begitu?"
Saat mendengar perkataan itu terlontar, akhirnya Vigi menampakkan senyum paling lebarnya. "Tentu Cal, tentu. Kau membawa sekolah kita juara di tingkat nasional karena sepak bola. Dan kau pernah pergi ke Brazil sebagai perwakilannya."
Calum tersenyum girang, dia tak menyangka saat ingatannya mulai pulih. Dia berpikir, mungkin rumah lamanya punya kekuatan magis.
# # #
Hell yeah! TODAY IS CALUM HOOD'S FREAKING BIRTHDAY EVERYONE :3
CIEEEE, 19 TAHUN NIH! CIEEEEE :D
BIARPUN DIA UDAH 19 TAHUN, POKOKNYA CALUM TETEP IMUT KAYA BAYI (menurut gue) :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Mind ツ c.hood ✅
Fanfiction❝Would you lose your mind, if I lost mine too?❞ a Calum Hood's short-story [COMPLETED] Copyright © 2015 by liamsterdamxo. All Rights Reserved