#18

54 10 0
                                    

^Senja^

Fakta tentang racun dalam kopi yang aku seduh, kini sudah terjawab. Pelakunya adalah seorang cleaning service yang bekerja untuk membersihkan unit apartment milikku, dan penyelidikan terus berlanjut karena cleaning service itu juga korban yang diancam seseorang untuk memasukkan racunnya pada kopi yang akan aku seduh.

Ayah dan ibuku menceritakan semuanya semalam, mereka semakin khawatir pada keamananku ketika kembali mendapat kabar kalau cleaning service itu tidak melihat wajah orang yang menyuruhnya. Aneh, sepertinya, pelaku sebenarnya adalah orang yang sama dengan yang mengirimku barang-barang bertuliskan 'maaf'. Apa mungkin orang itu frustasi dan nekat meracuniku karena aku tidak memberinya maaf? Tapi, apa sepantasnya orang meminta maaf dengan cara konyol seperti ini?

"Sebentar lagi Reza akan sampai di ruangan ini, kamu baik-baik sama dia, ya," kata ayahku setelah selesai berbicara di telpon.

Aku mengangguki perkataan ayah, dan kembali menerima suapan dari ibu.

"Makan yang banyak, abis itu minum obat biar cepet sembuh," ujar ibuku seraya membersihkan noda makanan di bibirku.

Aku mengangguk sambil mengunyah makanan yang ibu suapi.

Semakin hari, keadaanku semakin membaik. Tapi teroran itu juga tidak kunjung berhenti menghantui diriku, sebenarnya apa yang orang itu inginkan dariku? Memaafkannya? Bahkan aku tak tau harus memaafkan siapa, karena orang itu saja tidak memberi tahu namanya.

"Pagi, Om, Tante," sapa Reza saat memasuki ruanganku.

Ayahku hanya berdeham menanggapi sapaan Reza, sedangkan ibuku membalasnya dengan senyuman ramah seperti biasa.

Reza berjalan mendekatiku. "Biar Eza aja yang nyuapin Fara," kata Reza sambil mengambil alih mangkuk makanan yang ibu pegang.

Ibuku mengangguk dan membiarkan Reza yang menyuapiku.

"Udah enakan?" tanya Reza sambil menyuapiku.

Aku mengangguk dan mengacungkan jari jempolku. Tunggu, aku melihat ada yang aneh dari wajah Reza.

"Kenapa kening kamu biru gitu?" tanyaku sambil menyingkapkan rambut Reza yang sedikit menutupi lebam itu.

"Kejedot meja pas ngambil kertas yang jatuh." Reza menjawab pertanyaanku seraya menyingkarkan tanganku dari wajahnya.

"Sakit?" tanyaku lagi.

"Sedikit," jawabnya, lalu ia menyimpan mangkuk makanan ke atas nakas. "Jangan khawatirin aku, ingat aja kesembuhan kamu, oke."

"Ekhem!"

Ayahku berdehem begitu keras, membuat tangan Reza yang sudah bergerak untuk mengusap kepalaku kembali ke tempat semula.

"Ayah sama ibu pergi dulu, kamu baik-baik sama Reza," ucap ayah sambil menatapku.

"Dan kamu." Ayah menunjuk Reza. "Jaga anak saya baik-baik," lanjutnya.

Reza mengangguk dengan cepat. "Fara akan aman bersamaku, Om."

Ayah dan ibu berdiri, lalu tanpa mengucapkan apa-apa lagi mereka melenggang pergi dari ruangan tempat aku dirawat.

"Ayah kamu jadi sering ingetin aku buat jaga kamu baik-baik, padahal tanpa diingetin juga aku akan jaga kamu baik-baik. Bahkan kalo aku harus mati demi keselamatan kamu, aku siap," tutur Reza.

"Terus kalo kamu mati, aku cari yang lain, deh buat jagain aku," guarauku.

Mata Reza mendelik. "Bagus, jadi kamu doain aku mati?"

Syafara >Completed<Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang