#26

139 7 7
                                    

^Lelucon Kehidupan^

Acara lamaran pada minggu lalu masih membekas di hatiku, acara itu akan jadi momen paling bersejarah yang tidak akan pernah aku lupakan dalam hidupku. Apalagi momen di mana Reza bernyanyi di hadapan orang tuaku, aku merasa menjadi wanita paling beruntung saat itu.

Luka yang dulu sempat menganga karena rasa kecewa, kini telah terobati oleh seorang lelaki tampan yang setia menemaniku di beberapa tahun terkahir ini. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari hadirnya dia, salah satunya adalah manusia hanya bisa berencana karena takdir Tuhan yang sudah tertulis lah yang akan bekerja.

Hari ini aku akan membereskan rumah sederhanaku yang berada di dekat rumah Reza, di kampung. Mungkin di sana aku akan menginap agar bisa bertemu Reza dan menghabiskan waktu bersamanya, karena minggu depan Reza akan kembali terbang ke Singapura. Mau tidak mau, akan dan Reza akan menjalani hubungan jarak jauh.

Setelah dua jam perjalanan dari rumahku, akhirnya aku sampai di rumah sederhana yang dulu sempat aku tempati ini.

"Siang Pak Deni." Aku menyapa orang yang diberi percayaan oleh ayahku untuk menjaga dan merawat rumah ini sebelum masuk ke dalam rumah.

Pak Deni hanya menganggukan kepalanya seraya tersenyum menanggapi sapaanku.

Isi rumah ini tetap sama. Tidak ada yang berubah satu pun. Tapi itu membuatku merasa terlempar pada beberapa tahun lalu, tahun di mana aku, Syifa, dan Revan masih bersahabat dengan baik. Menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga, saling bercerita sambil menyeduh mie instan, perang bantal di kamar, dan bahkan bermain air di halaman rumah. Kebersamaan itu sangat indah, hingga akhirnya rasa yang tidak seharusnya ada malah muncul tidak terduga, dan kebodohanku selanjutnya malah merusak segalanya. Ya, meskipun sekarang aku tau apa yang sebenarnya terjadi tanpa sepengetahuanku.

Jika saja Revan masih ada di dunia ini, mungkin aku akan mencubit lengan atasnya seperti yang sering aku lakukan dulu lantas mengomelinya panjang lebar karena dia ketidak jujurannya padaku. Ah, tapi itu masa lalu, tidak baik aku berandai-andai pada apa yang sudah terjadi.

Aku melangkah kembali menuju kamar sederhana, kamar yang juga banyak menyimpan kenangan. Aku masih ingat persis saat Syifa menghadangku di depan pintu, meminta maaf padaku, dan menahanku agar tidak pergi. Tapi saat itu aku benar-benar merasa tidak punya alasan lagi untuk tinggal di sini.

Kasur ini, kasur yang sama tempat Syifa merebahkan dirinya sambil terus asik bercerita ketika aku terhanyut menyaksikan senja dari jendela.

Ya Tuhan, rasanya baru kemarin aku pergi dari rumah ini dengan penuh rasa putus asa. Tapi hari ini, aku kembali ke tempat ini dengan keadaan yang sudah jauh lebih baik.

Aku membuka lemari besar yang hanya berisi beberapa spary milikku, lalu memasukkan beberapa baju yang aku bawa dari rumah ke dalam lemari. Setelah itu aku mengambil satu sparay dan memasangkannya pada kasurku.

Pak Deni memang merawat rumah ini dengan baik, tapi kamarku ini adalah ruangan spesial, dan aku tidak mengizinkan pak Deni untuk masuk ataupun membereskan kamar ini.

Seteah selesai memasang spray, aku berjalan mendekati jendela. Kertas berisi jadwal pelajaranku yang dulu masih menempel pada kaca. Aku mencopotnya, melioat kertas itu lalu membuangnya ke tong sampah yang berada di sudut ruangan. Tidak ada satupun yang berubah dari kamar ini, kecuali cat temboknya yang sedikit memudar.

Hal selanjutnya yang akan aku lakukan adalah mengecat kembali dinding kamarku dengan warna yang sama seperti dulu. Tapi, sepertinya tidak ada stok cat tembok di rumah ini. Jadi, aku akan membelinya sambil mencari makanan.

Syafara >Completed<Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang