^Pusara^
"Seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu dengan sia-sia. Karena pada dasarnya, manusia akan hidup dengan segala timbal baliknya."
***
Hari yang menurutku akan cerah ternyata berujung abu, abu yang harus aku pastikan lagi warna dasarnya. Lagi-lagi aku semakin percaya, bahwa terkadang takdir Tuhan bertolak belakang dengan semua harapan.
Pagi ini sama cerahnya dengan hari kemarin, yang berbeda adalah suasana hatiku. Aku masih benar-benar menyiapkan hatiku untuk menerima semua kenyataan yang selama ini menjadi teka-teki. Entah akan berakhir seperti apa hari ini, aku sudah tidak berminat lagi membuat lamunan tentang apa yang akan terjadi, karena sudah terlalu sering lamunanku dipatahkan oleh takdir Tuhan.
"Lalu apa yang akan kamu lakukan hari ini?" tanya ibuku setelah mendengar semua ceritaku tentang hari kemarin.
Aku menatap manik mata ibuku. "Sesuai permintaan mama Reza, aku akan menemui Akbar dan meminta penjelasannya," jawabku dengan nada lemah.
"Dianterin Reza?" Aku mengangguki pertanyaan ibuku.
Aku menyimpan cangkir kopi yang aku pegang ke pagar balkon, lalu memeluk ibuku dengar erat.
"Ibu tau gimana hancurnya aku saat SMP dulu, sampai-sampai aku harus pergi meninggalkan kota ini dan tinggal di kampung kecil. Ibu juga tau gimana sakitnya hati aku saat aku mencintai Revan, sampai-sampai aku juga harus pergi dari Negara ini ke Negara lain yang punya rumah sakit lebih bagus buat ngobatin semua keluhanku." Aku melerai pelukannya, lalu menggenggam kedua tangan ibuku, dan mencium punggung tangannya dengan lembut.
Ibuku berkaca-kaca ketika melihat aku menangis.
"Ibu juga tau kejadian tiga tahun lalu yang berhasil membuatku harus kembali berkonsultasi ke Psikolog. Aku tidak pernah merasa diasingkan saat orang-orang di kampus menjauhiku karena mereka tau aku punya gangguan jiwa, aku juga tidak pernah mengadu pada Ibu kalo sebenernya aku kesepian," ucapku mengungkapkan semua kepedihan yang selama ini aku pendam.
"Boleh kah aku mengadu pada Ibu hari ini?" Pertanyaanku langsung mendapat anggukan kepala dari ibuku.
"Aku cape, Bu. Aku gak mau denger apapun lagi yang berkaitan dengan masa kelamku, aku ingin bebas dari semuanya, Bu."
Perkataanku membuat ibu memeluk tubuhku dengan erat.
"Kamu putri Ibu satu-satunya, Ibu selalu ingin yang terbaik untuk kamu, dan Ibu selalu berusaha memenuhi semua keinginanmu. Tapi, tolong dengarkan Ibu juga hari ini," pinta ibuku membuat aku mendongak menatap wajahnya yang sudah basah dengan air mata.
"Hadepin Akbar, dengarkan penjelasannya, cerna baik-baik semua alasan dia melakukan hal buruk itu padamu, Nak. Kamu akan tenang jika semuanya telah selesai, kamu gak akan dibayang-banyangi lagi sama semua masa kelam kamu. Percaya sama Ibu, kamu pasti bisa melewatinya, Nak."
"Tapi aku belum siap bertemu dengan Revan, Bu."
"Kapan kamu akan merasa siap kalo gak hari ini?"
Tertohok, aku benar-benar tertohok dengan pertanyaan ibuku. Memang benar, selama ini aku selalu tidak siap menghadapi Revan ataupun Akbar. Aku selalu merasakan takut yang berlebihan ketika mengingat nama dan kenangan pahit yang mereka berikan padaku.
Tok ... Tok ... Tok ....
Pintu kamarku di ketok dari luar, dengan cepaf aku menghapus sisa air mataku dan membenarkan ranbutku yang sudah berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syafara >Completed<
Teen FictionCover by : Syafara NQ Takdir Tuhan adalah yang terbaik, meskipun terkadang takdir itu membuat kita sakit. Bukan hidup namanya jika tidak penuh dengan ujian, bukan hidup juga namanya jika tidak merasakan kebahagiaan. 2020-2021 <3