^Sebuah kenyataan^
Hari ini, tepat dua bulan Reza pulang ke Indonesia dan dia masih tidak mengabariku sama sekali. Aku merasa benar-benar menyesal menulis nama Revan di surat itu, tapi aku juga tidak ingat ketika aku menulisnya.
Ya Tuhan, rasanya aku ingin mati saja detik ini juga. Ditambah, para bodyguard itu semakin hari semakin menyebalkan saja. Aku sudah meminta pada ayah agar membawa kembali para bodyguard sialan ini, tapi ayah menolak permintaanku mentah-mentah.
Hari ini aku merasa sangat pusing, aku juga sudah merasa putus asa untuk menghubungi Reza. Daripada aku tidak fokus kuliah, lebih baik aku absen saja hari ini. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak keluar dari apartment ini hari ini, aku tidak akan membuka pintu jika orang-orang sialan itu mengetuknya, aku tidak akan makan sama sekali hari ini. Biarkan saja aku pingsan dan mati di apartment ini. Aku benar-benar merasa dibunuh perlahan oleh rasa penyesalan ini, jadi lebih baik aku membantu diriku untuk lebih cepat mati saja. Aku tidak sanggup lagi jika harus hidup dalam penyesalan ini, aku takut jika ternyata Reza tidak akan kembali ke sini dan lebih memilih untuk menetap di Indonesia. Aku ingin pulang.
Tok ... Tok ... Tok ....
Sepertinya orang-orang sialan itu mengetuk pintu untuk menyuruhku sarapan pagi, aku akan mengabaikan mereka. Lebih baik, aku kembali tidur saja pagi ini.
Ketukan pintu itu tidak juga berhenti, aku sampai menyumpal telingaku dengan headset agar suara berisik itu tak terdengar lagi.
Setelah musik berjudul 'you broke me first' mengalun pelan di telingaku, aku mulai memejamkan mataku, lalu terbang ke alam bawah sadar.
***
Aku membuka mataku perlahan, menyesuaikan cahaya yang menyeruak ke indra penglihatanku. Tapi, kenapa dinding kamarku menjadi warna putih? Dan apa ini, bau obat?
Aku segara melirik tanganku, dan ternyata jarum infusan sudah menancap dengan mulus di sana. Ya ampun, kenapa aku bisa ada di sini?
Hal terakhir yang aku ingat adalah : aku tertidur di kamarku sambil mendengarkan musik. Jadi, kenapa aku bisa ada di sini?
"Kamu udah sadar?" tanya seseorang yang baru saja masuk ke ruangan ini.
Aku sangat bahagia ketika melihat wajah Reza berdiri di sampingku, aku memeluk Reza dengan semangat, sampai aku lupa kalau di tanganku masih tertancap jarum infusan.
Tanganku terasa perih dan mengeluarkan darah yang cukup banyak. Dengan cekatan, Reza memasangkan kembali jarum itu pada tanganku, ternyata dia memang berbakat menjadi perawat.
Wajah Reza yang terlihat panik membuatku semakin merasa bersalah padanya, maafkan aku, Za.
"Kenapa kamu, 'gak bisa jaga diri selama aku pergi?" Reza bertanya masih dengan raut wajah khawatirnya.
Aku menunduk, tak berani mentap manik mata Reza. Ada ketakutan tersendiri dalam diriku ketika mendengar Reza bertanya dengan nada seperti itu, mungkin karena aku merasa bersalah padanya.
"Maaf," gumamku.
Aku memberanikan diri untuk menatap manik mata Reza. "Maaf aku membuatmu kecewa, maafin aku, Za. Jangan pergi lagi," lirihku dengan air mata yang mulai mengaliri pipi.
Reza mendekapku dengan penuh kasih sayang, aku merasa nyaman berada dalam pelukannya. Dia mengelus kepalaku pelan, membuatku semakin nyaman berada di dekatnya.
"Aku janji, 'gak akan ninggalin kamu lagi. Sekarang kamu makan, ya. Kamu pasti lapar karena seminggu ini kamu tak sadarkan diri."
"Hah? Seminggu?" beoku. Aku tak percaya jika aku tak sadarkan diri selama itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syafara >Completed<
Teen FictionCover by : Syafara NQ Takdir Tuhan adalah yang terbaik, meskipun terkadang takdir itu membuat kita sakit. Bukan hidup namanya jika tidak penuh dengan ujian, bukan hidup juga namanya jika tidak merasakan kebahagiaan. 2020-2021 <3