^Sepi^
Hal pertama yang aku ingat ketika bangun tidur pagi ini adalah Reza, apakah dia masih marah padaku? Sepertinya, aku harus minta maaf padanya pagi ini juga.
Aku melirik jam dinding di kamarku. Keberuntungan sedang berpihak padaku, ini masih pukul 04.30, dan aku yakin, Reza masih berada di apartment-nya. Tanpa memedulikan penampilanku saat ini, aku segera berlalri ke lantai tiga belas di mana apartment Reza berada.
"Zaaa!" teriakku sambil mengetuk pintu apartment Reza dengan tergesa-gesa, semoga Reza belum berangkat ke bandara.
Aku sudah mengetuknya beberapa kali, tapi tetap saja tidak ada jawaban dari dalam. Keadaan ini membuatku semakin merasa bersalah pada Reza, ayolah, Za, aku mohon.
"Zaaa!" teriakku lagi, aku benar-benar merasa bersalah pada Reza.
Ini alasan aku menolak Reza dari dulu, aku takut ketika rasa cintaku pada Revan yang belum benar-benar hilang ini membuat hubunganku dengan Reza berantakan. Dan sekarang ketakutanku terbukti.
Aku terus mengetuk pintunya, aku tidak akan menyerah sampai aku bisa kembali memeluk Reza dan meminta maaf padanya.
Air mata yang aku tahan sedari tadi akhirnya meluruh juga, aku benar-benar merasa bersalah pada Reza, aku benar-benar merasa tak pantas memiliki Reza yang menyayangiku dengan begitu tulusnya. Sedangkan aku, dalam hatiku saja masih ada nama orang lain, ini tidak adil bagi Reza.
Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Jika hanya diam menunggu Reza kembali ke sini, itu sama saja aku tidak membuktikan pada Reza kalau aku sudah berusaha mencintainya. Reza pasti membutuhkan pembuktian dariku.
Aku memutar otakku dengan cepat, mencari opsi lain untuk membuktikan bahwa aku berjuang untuk mencintai Reza. Ah, kenapa aku melupakan ponsel? Aku bisa menelpon Reza lewat ponselku.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera berlari menuju ke apartment-ku kembali.
Ternyata menghubungi Reza bukan perkara yang mudah, ponsel Reza sepertinya tidak diaktifkan. Apa mungkin Reza sudah berada di dalam pesawat sepagi ini?
"Za, kumohon, angkat telponku," gumamku penuh harap.
Tapi, harapan hanya sekedar harapan. Ini adalah kali ke-27 aku menelpon Reza, dan ponsel Reza belum juga aktif.
Ini semua salahku, semoga aku tidak mengulangi kesalahanku ini. Dan satu hal yang pasti, kejadian ini tidak akan terjadi jika saja surat itu tidak ada. Demi apapun, sekarang aku membenci orang yang mengirimkan surat itu.
***
Hari ini begitu sepi, tidak ada Reza yang memeluk leherku ketika aku berdiri di rooftop, tidak ada lagi gombalan receh yang terlontar dari mulut Reza. Sampai kapan kesepian ini menyelimuti hari-hariku?
Kopi pahit di sore ini menjadi pelengkap kesendirianku, aku mengesapnya secara perlahan untuk menikmati rasa pahitnya. Apa aku perlu pulang ke Indonesia menyusul Reza? Tapi, bagaimana dengan pendidikanku yang belum selesai di sini?
Untuk kali ini, aku harus bersabar menunggu kepulangan Reza dari Indonesia, dan aku harus meneguhkan hatiku untuk mengusir nama Revan dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syafara >Completed<
Teen FictionCover by : Syafara NQ Takdir Tuhan adalah yang terbaik, meskipun terkadang takdir itu membuat kita sakit. Bukan hidup namanya jika tidak penuh dengan ujian, bukan hidup juga namanya jika tidak merasakan kebahagiaan. 2020-2021 <3