^Maaf?^
Kotak merah yang berada di depan pintu apartment-ku ternyata memang untukku, ada namaku yang tertulis di bawah kotak itu. Karena aku takut membukanya sendirian, aku membawa kotak itu ke apartment Reza dan akan membukanya di sana.
"Zaaa!" panggilku dari luar pintu apartment-nya.
Ketika pintunya terbuka, bukan Reza yang membuka pintu itu, melainkan Akbar-lah yang membukanya.
"Eh, kenapa balik lagi, Kak?" tanya Akbar.
Aku memperlihatkan kotak merah yang masih tertutup rapat di tanganku. "Aku takut membukanya sendirian, jadi aku bawa ke sini," jawabku, "Rezanya ke mana?"
"Kak Reza lagi mandi dulu, yuk masuk aja, Kak." Akbar membukakan pintu lebih lebar agar aku bisa ikut masuk.
Aku duduk di sofa dan menyimpan kotak merah yang aku bawa di atas meja.
"Ternyata Kakak masih trauma sama warna merah," ucap Akbar sambil terkekeh.
Aku meliriknya sinis. "Jangan ungkit kejadian itu lagi, Kakak, 'gak suka," desisku pada Akbar.
"Iya, maaf, Kak." Akbar mengangkat jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V.
"Far, kok balik lagi?" tanya Reza yang baru keluar dari kamarnya, handuk kecil masih tersampir di pundaknya, itu membuat kadar ketampanannya meningkat drastis. Aku sampai bengong melihat wajahnya.
"Jangan ngiler, Kak," bisik Akbar membuatku kembali pada kenyataan.
"Eh, itu, Za," ucapku sambil menunjuk kotak merah yang berada di atas meja. "Aku takut buka kotak itu sendirian, jadi aku bawa ke sini buat dibuka bareng-bareng." Aku tersenyum menunjukkan deretan gigiku.
"Kalo takut buka sendirian, kenapa gak dibuang aja kotaknya?" Reza bertanya demikian sambil berjalan ke arah sofa.
"Hihi, aku penasaran sama isi kotaknya," kekehku.
"Hihi, aku penasaran sama isi kotaknya," cibir Akbar dari sofa di sebrangku.
Aku menatap sinis Akbar. "Masih aja ngeselin," desisku.
"Udah, jangan berantem. Sini aku buka," ucap Reza sambil duduk di sampingku.
Reza membuka kotak merah itu dengan serius. "Hah?" teriak Reza penuh tanya, dan itu berhasil membuat Akbar berpindah tempat duduk ke samping Reza.
"Maaf?" gumam Akbar yang melihat isi kotak itu.
Aku mengernyitkan dahiku, lalu merebut kotak merah itu dari tangan Reza. Ketika aku melihat isinya, aku semakin penasaran dengan orang yang mengirimku kotak merah berisi tulisan 'Maaf' yang dicetak tebal.
"Siapa yang pernah buat salah sama kamu? Apa kamu pernah disakiti? Atau kamu pernah ngalamin kejadian buruk? Kamu pernah ke tabrak? Ke serempet? Atau ada yang nyuri pulpen? Buku catatan kuliah? Atau apa gitu kejadian kriminal dan sebagainya?" Reza menyerangku dengan pertanyaanya.
"Nafas, Kak," intruksi Akbar sambil mengelus pundak Reza.
"Za, kalo nanya santai aja, aku bukan rapper yang bisa jawab semua pertanyaan secepet kamu ngasih aku pertanyaan," kekehku.
"Intinya siapa yang pernah buat salah sama kamu?" Reza mengambil kotak itu dari tanganku, lalu menyimpannya di atas meja.
"Bukannya, Kak Reza juga pernah buat salah sama, Kak Fara?" tanya Akbar dengan wajah polosnya.
"Nah, iya. Reza sendiri pernah buat salah sama aku." Aku membenarkan ucapan Akbar.
"Ish, bukan itu. Tapi, ya semacam kayak gitu," ucap Reza belibet sendiri.
Akbar tertawa dengan lepas, tapi tak lama tawa itu berubah menjadi rintihan kecil. Akbar memegang dada kirinya dengan erat, dia mengerang kesakitan.
Aku dan Reza kelabakan menangani Akbar yang tiba-tiba seperti itu, Reza malah berlari menuju kamarnya entah mencari apa.
"Zaaa! Bawa Akbar ke dokter, aku takut dia kenapa-napa!" teriakku sambil menenangkan Akbar yang masih memegangi dadanya.
Reza membawa pil berwarna putih dan segelas air, ia langsung menyodorkan pil itu pada Akbar.
"Bar, minum dulu obatnya," titah Reza.
Akbar menerima pil itu dan langsung meminumnya dengan cepat.
"I-Ini udah se-sering terjadi, ko, Kak. Ga-gak usah khawatir." Akbar berucap dengan tergagap, ia masih memegangi dadanya begitu erat.
"Sakit banget, ya?" tanyaku yang medapat anggukan dari Akbar.
Aku sudah benar-benar menganggap Akbar sebagai adikku sendiri, jadi ketika Akbar kesakitan seperti ini, aku merasa benar-benar khawatir padanya.
Reza duduk di sampingku, ia memelukku dari samping, dan menyandarkan kepalanya di pundakku. "Kamu khawatir banget sama Akbar, aku jadi cemburu," celetuk Reza yang benar-benar tak melihat kondisi, rasanya aku ingin menoyor kepalanya dengan begitu keras agar matanya bisa terbuka dan melihat dengan jelas kejadian barusan.
Akbar terkekeh, masih dengan tangan yang memegabgi dada kirinya, Akbar berkata, "Jangan cemburu, Kak. Kak Fara cuma anggap aku adek, ko. Lagian Kak Eza, 'kan tau aku udah punya Kaila."
Aku yang sedang mengelus punggung Akbar menghentikan kegiatanku, aku menatap Akbar dengan serius.
"Kaila siapa?" tanyaku.
"Dia pacar aku di Indonesia. Kakak inget, 'gak dulu aku pernah cerita tentang cewe yang ada di asrama deket sekolah?" Akbar sudah kembali normal, ia tak lagi memegangi dada kirinya.
Aku mengangguk sebagai jawaban dsri pertanyaan yang Akbar lontarkan.
"Nah, ternyata nama dia Kaila. Dia tinggal di asrama karena ibunya gak mampu sekolahin dia, tapi dia keras kepala ingin sekolah di kota, jadi ibunya cuma mampu masukin dia ke asrama yang ada di kota. Setelah Kakak keluar SMP dan pergi dari kota, aku sering bolos dan diam-diam mendapati Kaila sedang mencatat pelajaran yang dia dengar di belakang kelas. Dari sanalah aku deket sama Kaila," jelas Akbar.
"Ouh, sekarang Kaila masih di asrama?" Pertanyaanku ditanggapi dengan gelengan kepala oleh Akbar. "Lalu dia kemana?" tanyaku.
"Kaila pulang ke kampung, tapi setelah aku sembuh dan pulang ke Indonesia, aku akan menyusul Kaila ke kampungnya."
Seperti itulah Akbar, hidupnya selalu punya tujuan. Dia selalu perfect menyusun rencana yang harus dia lakukan, setelah ini harus melakukan itu, lalu melakukan itu dan bla bla bla.
Meskipun Akbar besar di keluarga yang kurang harmonis, tapi dia berhasil tumbuh dengan baik meski kadabg sedikit nakal. Akbar tak pernah mau diatur oleh siapapun, hidupnya adalah urusannya. Mungkin sikap itulah yang membuat aku menganggap dia seperti adikku sendiri, adik laki-laki yang sangat mandiri.
"Udah curhatnya?" Reza bertanya dengan nada kesalnya.
"Udah, Kak. Cemburuan banget, sih jadi orang," sungut Akbar.
"Udah malem, Bar. Sana tidur, Kakak nganterin pacar dulu." Reza berucap seperti itu tanpa melihat ke arahku.
Woy, pipiku panas mendengar ucapan Reza. Sederhana, tapi begitu mengena.
"Yah, pacarnya langsung blushing gitu," ledek Akbar padaku.
Aku menabok pantat Akbar dengan keras membuat dia mengaduh kesakitan. Reza hanya terkekeh melihat tingkahku dan Akbar.
"Yuk, kamu pulang dulu. Besok kamu masih ada jadwal kuliah pagi," ajak Reza sambil mengulurkan sebelah telapak tangannya.
Aku menerima uluran telapak tangan Reza lalu berjalan keluar dari apartment-nya.
"Dah, Kak!" teriak Akbar sebelum Reza menutup pintu apartment.
{>¢<}
Tututut updatenya kesorean:)
Huhuy, jangan lupa tinggalin jejak, koment kalo ada typo:*
KAMU SEDANG MEMBACA
Syafara >Completed<
Teen FictionCover by : Syafara NQ Takdir Tuhan adalah yang terbaik, meskipun terkadang takdir itu membuat kita sakit. Bukan hidup namanya jika tidak penuh dengan ujian, bukan hidup juga namanya jika tidak merasakan kebahagiaan. 2020-2021 <3