#4

113 17 14
                                    

^Bukan Karena Cemburu^

"Kenapa kamu langsung pergi tadi pagi?"

Itu adalah pertanyaan pertama yang berhasil lolos dari mulut Reza, setelah lebih dari setengah jam kami saling diam, hanya saling menatap sekilas lalu kembali fokus melihat gedung-gedung lain dari atas rooftop.

Aku bingung harus menjawab apa, karena aku sendiri tidak tau kenapa aku langsung pergi begitu saja tadi pagi. Apa mungkin aku cemburu?

"Far, jawab pertanyaanku," desak Reza, "apa kamu cemburu?"

Pertanyaan itu membuatku refleks menggelengkan kepala, mana mungkin aku cemburu.

"Mana ada orang cemburu ngaku," gerutu Reza sambil menggaruk kepalanya.

"Aku, 'gak cemburu. Cuma, gimana aku bisa cepat buka hati buat kamu, sedangkan dalam hati kamu juga ada perempuan selain aku," ungkapku pada akhirnya. Apa benar aku pergi karena itu? Entahlah, aku sendiri masih bingung.

Kedua tangan Reza menggenggam tangan kananku, aku terpaku melihat Reza yang semakin tampan ketika cahaya senja menerpa wajahnya.

"Dia Nia, sekertaris baru di kantor aku. Kebetulan dia baru sampai di Singapura dan hanya tau alamat apartment aku, kamu jangan salah faham," jelas Reza dengan mimik wajah yang serius.

"Nia? Dia orang Indonesia juga? Temen kamu dulu atau mantan pacar kamu? Eh, atau kamu masih ada rasa sama dia?" selidikku. Mataku menyipit menatap wajah Reza yang tiba-tiba kelabakan.

"Ya ampun, Nia itu temen kuliah aku di Indonesia. Aku kasian karena dia gak punya kerjaan di sana, padahal dia punya potensi yang bagus. Maka dari itu, aku nyuruh dia ke sini buat jadi sekertaris pribadiku di kantor. 'Kan kamu tau sendiri, aku belum punya sekertaris pribadi." Reza menjawab pertanyaanku dengan nada sedikit ngegas, jangan lupakan tangan kananku yang dihempaskan begitu saja oleh Reza.

"Biasa aja, dong, Za. Aku salah, ya nanya kamu?"

Reza mendengus kesal. "Ya, kamu enggak salah. Cuma, ya kamu salah juga karena mikir yang enggak-enggak tentang aku sama Nia. Ah, taulah," kesal Reza.

Aku tertawa melihat wajah Reza yang merah menahan kesal, bisa-bisanya aku memancing kekesalan Reza. Tapi tunggu, kenapa Reza harus kesal ketika menjawab pertanyaan dariku? Apa aku terlalu possessive?

"Yaudah, aku minta maaf kalo aku terlalu possessive sama kamu, padahal kita belum ada hubungan apa-apa. Kamu maafin aku, 'kan?" Aku memasang senyum termanis agar Reza luluh dan dengan mudah memaafkanku.

"Aku seneng kamu mulai possessive dan peduli sama aku. Tapi, cobalah buka hati kamu dan percayalah padaku. Di hati aku cuma ada nama kamu, gak ada nama wanita lain." Reza menarikku kedalam dekapannya. "Aku maafin kamu, kok."

"Makasih banyak udah selalu ngertiin aku, makasih banyak udah mau suka sama aku yang punya banyak kekurang, makasih, Za."

Reza mengusap puncak kepalaku. "Gak ada manusia yang sempurna, Far."

Aku menarik diriku dari pelukan Reza, lalu mentap wajahnya. "Masa, sih gak ada yang sempurna? Berarti kamu bukan manusia, dong?"

Reza mengerutkan keningnya, ia tidak faham dengan ucapanku barusan.

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, lalu berkata, "Karena di mata aku kamu itu sempurna."

"Udah pinter gombal, ya sekarang. Di ajarin siapa kamu? Hah? Di ajarin siapa?"  tanya Reza, dengan tangannya yang menggelitiki pinggangku tanpa ampun.

Syafara >Completed<Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang