#3

146 24 28
                                    

^Di Tengah Bulan yang Sempurna^

Sudah genap dua tahun aku tinggal di Singapura, tapi tetap saja bayangan ketika Revan menamparku masih sering terlintas.

Sekarang, aku sudah menjadi seorang mahasiswa di Universitas swasta Singapura. Aku sudah lebih dewasa dan lebih bijak dalam mengambil keputusan, dan sekarang aku sudah mulai terbiasa dengan suasana di Negara ini.

Reza, lelaki itu sering aku temui akhir-akhir ini. Dia ramah, selalu siap membantuku kapanpun itu. Ternyata, Reza dan aku hanya terpaut usia empat tahun. Tapi karena dia pintar dan punya modal, dia membangun perusahaannya di sini.

Malam ini, aku menikmati indahnya bulan di langit sana. Aku berdiri dekat pembatas rooftop bersama secangkir kopi pahit, angin malam menyapu kulitku dengan lembut. Ah, ini malam yang terbaik selama aku di sini.

"Gak baik perempuan berdiri di rooftop malam-malam begini, apalagi hanya menggunakan kaos pendek dan celana pendek. Kalau masuk angin, terus sakit, siapa yang akan menjagamu?"

Aku tersenyum sambil menggigit bibir bawahku untuk menetralkan rasa aneh yang bersarang dalam dada. Tidak lama, sebuah jas hitam tersampir di pundakku, diiringi tangan besar yang memeluk leherku dari belakang.

"Jangan terlalu banyak meminum kopi, 'gak baik buat kesehatan lambungmu."

Aku merasakan nafasnya di puncak kepalaku, ini adalah posisi ternyaman yang sering kami lakukan akhir-akhir ini. Aku tidak pernah menyangka bahwa kedekatan aku dan Reza akan sampai tahap ini, tahap di mana aku mulai belajar membuka hatiku untuk Reza.

"Za, sejak kapan kamu menyukaiku?" tanyaku.

Aku ingin mendengar kembali cerita Reza tentang dia yang selalu mencari perhatianku di kampung dulu, ternyata kejadian di rumah makan dua tahun lalu juga sudah Reza rencanakan. Dia diam-diam membuntutiku ketika keluar dari gedung apartment, dia benar-benar lelaki yang kehadirannya tidak pernah aku bayangkan.

"Sejak hujan turun di bumi untuk pertama kalinya, sejak bulan bercahaya penuh, sejak fajar membentang di ufuk timur," jawab Reza dengan asal, dan aku mendengus tak suka mendengar jawaban itu.

Tangan kanan Reza membenarkan rambutku yang terurai, sedangkan tangan kirinya masih setia memeluk leherku. "Far, rasa cinta itu selalu muncul tanpa aku sadari. Yang pasti, kini aku mencintaimu, aku takan menyia-nyiakanmu, aku akan selalu ada untukmu, dan aku takan membagi cintaku pada siapapun selain kamu."

"Jangan berucap seperti itu, aku pernah mendengarnya dan itu membuatku terbang. Tapi, tak lama setelah ucapan manis itu, aku dijatuhkan dengan pahitnya kenyataan," gumamku dengan suara rendah.

Tangan kanan Reza mengusap puncak kepalaku dengan lembut, lalu dia menempelkan dagunya di kepalaku. "Aku bukan dia, stop mengingat kenangan kamu bersamanya dulu. Dia hanya lelaki brengsek yang tak tahu diri," gumam Reza membuatku mengangguk. "Dia seharusnya bersyukur dicintai oleh wanita sebaik kamu," lanjutnya.

Aku menggelengkan kepalaku ketika mendengar ucapan terakhir Reza. Itu adalah kalimat yang salah, karena pada kenyataannya orang-orang di dekatku selalu merasa rugi dengan kehadiranku. Mungkin.

"Apa yang mau dia syukuri ketika dia cintai oleh wanita sepertiku? Aku, 'gak punya kulit seputih Syifa, 'gak punya pipi setirus Syifa, 'gak punya wajah secantik Syifa, dan aku, 'gak punya--"

"Stop membandingkan fisik kamu dengan fisik Syifa! Belajarlah untuk tidak membandingkan fisik kamu dengan orang lain, kamu memiliki sesuatu yang, 'gak orang lain miliki, dan itu yang membuatku jatuh cinta padamu, sejatuh-jatuhnya."

Reza mendramatisir nada bicaranya, itu membuatku tak bisa menahan senyumku. Aku menyimpan cangkir kopi di pembatas rooftop, lalu berbalik dan mengalungkan tanganku di lehernya, dengan refleks tangan Reza berpindah memeluk pinggangku. Kami bertatapan dengan jarak yang sangat dekat, seakan kami sedang mencari cinta di mata satu sama lain.

"Jangan pernah lagi membandingkan fisikmu dengan fisik wanita lain, kamu, 'gak bisa memaksa semua orang untuk menyukai fisikmu. tapi yakinlah, akan ada orang yang tulus mencintaimu tanpa melihat fisikmu, dan itu aku." Perkataan Reja seolah menyihirku, aku senang diperlakukan spesial seperti ini, dan aku bahagia bisa menjadi wanita spesial untuk Reza. Ya ... meskipun aku belum sepenuhnya membalas perasaan Reza, setidaknya aku sudah berusaha membuka hatiku untuk Reza.

Aku menenggelamkan wajahku pada dada bidang Reza, dan Reza mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang.

"Udah malam, aku antar kamu ke apartment, yuk!" ajak Reza seraya melepas pelukannya.

Aku mengangguk dan menggandeng tangan Reza menuju apartment-ku, kami berjalan beriringan layaknya orang pacaran. Tapi sebenernya, kami belum resmi menjadi sepasang kekasih. Aku masih harus berusaha mencintai Reza, aku tidak mau mengakui Reza sebagai pacarku, jika dalam hubungan itu hanya Reza yang mencintaku. Itu tidak adil, dalam sebuah hubungan harus ada rasa cinta dari kedua belah pihak, dan Reza memaklumi aku yang belum mencintainya sepenuhnya.

"Tidurlah setelah menggosok gigimu dan mencuci mukamu. Aku mencintaimu, semoga kamu bisa cepat mencintaiku," ucap Reza seraya menutup pintu apartment-ku dari luar.

Aku bersandar pada pintu, menarik nafasku dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan, menetralisir rasa sesak yang selalu hinggap ketika wajah Revan tiba-tiba saja melintas di pikiranku. Please Van, pikiranku bukan jalanan yang bisa seenaknya kau lewati. Ya ampun, aku jengah sendiri dengan pikiran itu.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, jas hitam milik Reza masih tersampir di pundakku. Aku ingin mengembalikan jas ini pada Reza, tapi aku urungkan karena ini sudah terlalu malam, aku takut menggangu Reza yang akan beristirahat setelah melewati harinya yang super sibuk.

"Besok pagi saja aku mengembalikan jas ini," gumamku pelan.

Aku berjalan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Setelah itu, aku membaringkan tubuhku di kasur. Huh, semoga aku bisa melupakan nama Revan dengan mudah.

***

Keesokan harinya, aku terbangunkan oleh suara alrm yang aku simpan di atas nakas.

Setelah mematikan alrm, aku menggeliat lalu turun dari kasurku untuk memulai aktifitas di pagi ini. Aku membereskan kasurku lalu membuka gordeng agar cahaya matahari pagi bisa masuk kedalam kamarku, segarnya udara pagi ini membuat aku bersemangat untuk menjalani aktifitasku.

Jas hitam milik Reza sudah aku lipat dengan rapih dalam tote bag, aku akan mengembalikannya sambil berangkat kuliah pagi ini.

Aku melakukan ritual pagi hariku, mandi, sarapan, lalu berangkat menuju kampus yang tidak jauh dari gedung ini. Tidak lupa, aku membawa jas milik Reza.

Saat aku hendak mengetuk pintu apartment Reza, Reza keluar bersama seorang perempuan di sampingnya.

"Fara, ada apa kamu ke sini?" tanya Reza dengan wajah kagetnya.

Aku menunduk lalu menyodorkan tote bag berisi jas milik Reza. "Jas kamu ketinggalan semalam. Terima kasih, aku ke kampus dulu," pamitku tanpa mentap wajahnya, lalu pergi meninggalkan Reza dan wanita di sampingnya yang mematung.

Pikiran negatifku mulai bermunculan. Sebenernya siapa wanita itu? Kenapa bisa ada di apartment Reza sepagi ini? Dan pikiran-pikiran buruk lainnya saling menindih membuatku kalut sendiri.

{>¢<}

Syafara &gt;Completed&lt;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang