37. Izin

3.3K 208 26
                                    

Habis makan malam, mereka duduk bertiga di ruang tamu. Ngobrol-ngobrol ngilangin bosen. Ayah berlanjut bahas tentang Rei di Semarang. Dari awal memang Ayah nggak ngasih pekerjaan yang berat buat Rei, paling cuma bantu input data, buat arsip dan lain-lain yang sekiranya mudah.

Mamanya Adit juga sering ngasih tau ke Bunda kalau Rei males makan, susah. Bunda nggak kaget kalau soal laporan ini. Karena dari dulu juga Rei paling susah disuruh makan. Dia bakalan makan kalau emang perutnya udah ngerasa lapar aja.

Zora yang denger itu juga jadi paham, wajar aja kalau di rumah Rei nggak pernah ribut soal makan. Kadang juga beberapa kali disuruh makan nggak mau, berakhir Zora maksa. Ternyata emang udah tabiat dia dari dulu. Nggak heran.

Kalau dari Adit, ngelapornya paling cuma kayak Rei lagi apa, ngapain aja. Kalau dari papanya Adit, Ayah sering dapet laporan dia terlalu sibuk. Kadang yang nggak disuruh, dia mau nyoba. Bagus, sih, kalau mencoba hal baru. Papa Adit juga mau ngebantu, bahkan seneng kalau Rei inisiatif dalam semua hal.

Tapi yang sering bikin khawatir, kesibukan Rei yang bikin dia selalu nunda makan. Padahal udah diingetin berkali-kali tapi masih aja nunda-nunda.

Zora nggak tau masalah ini, tiap kali telepon dan ditanya udah makan atau belum, Rei selalu bilang udah. Jadi Zora nggak nanya lebih lanjut lagi.

"Bunda udah bilang ke Nina kalau Rei masih susah disuruh makan, omelin aja," kata Bunda, ikut khawatir sama anaknya yang jauh dari pengawasan dia.

"Rei bukan bayi lagi, Bun," kata Ayah.

"Iya, tapi anak itu selalu nunda makan. Bilangnya udah makan tiap kali ditanya, padahal mah belum," kata Bunda.

"Yah, Bun, sebenernya Zora ke sini juga mau ngomongin soal Rei," kata Zora.

"Ayo omongin aja, mumpung anaknya jauh jadi kita bebas ngomongin dia," kata Ayah.

Zora cerita soal keluhan Rei ke dia selama ini. Bahkan soal turnamen basket sekolah juga Zora omongin. Siapa tau, Ayah bisa kasih Rei kesempatan buat ikut turnamen terakhir dia.

"Rei nggak sering ngeluh, tapi Zora tau raut mukanya," Zora senyum inget raut wajah Rei kalau lagi video call. Muka-muka bosen, mau pulang, kangen sama dia.g

"Lebih sering ngomongin turnamen basketnya. Bilang kalau dia berharap banget bisa ikut turnamen terakhirnya ini. Zora nggak bermaksud ikut campur sama urusan Ayah, Zora juga tau kalau Ayah butuh Rei banget di sana," kata Zora.

Ayah diem, saling pandang sama Bunda. Ayah juga udah tau soal turnamen ini, Rei pernah cerita. Dan waktu ambil keputusan berangkat ke Semarang juga Rei lebih milih janji dia sama ayahnya daripada turnamen yang dia tunggu-tunggu itu.

"Kamu mau Rei ikut turnamen itu?" tanya Ayah.

"Kalau bisa. Tapi Ayah yang lebih paham, jadi Zora nggak mau maksa Ayah," kata Zora.

"Rei.. Rei, dia jauh dari kita aja bikin kita kepikiran kayak gini," Ayah geleng kepala.

"Ayah nggak janji soal ini, karena dari awal persetujuan sama Hendra 3 bulan. Tapi Ayah bakal coba bilang, kamu yang sabar, ya, Ra," kata Ayah.

***

"Bener nggak mau Ayah antar aja? Udah malem, lho, Ra," tanya Bunda. Zora udah siap bawa tentengan dia. Nggak cuma seragam sekolahnya, tapi Zora bawa beberapa makanan juga yang dibungkus sama Bunda.

"Masih jam sembilan, kok, Bun," kata Zora.

"Udah dapet taksinya?" tanya Ayah.

"Zora naik ojol aja," jawab Zora.

"Naik motor? Kenapa nggak pesan taksi aja?" tanya Ayah, khawatir anak perempuannya malam-malam gini pulang sendirian. Apalagi bawa tentengan banyak.

"Taksi aja, Ra. Bawaan kamu banyak, lho," kata Bunda.

Zora mandangin bawaannya, bener sih, lumayan banyak. Dia buka HPnya, untung dia belum pesen ojol.

"Iya, Zora pesen taksi aja," kata Zora.

Nggak lama, taksi pesenan dia udah sampai di depan gerbang. Ayah ke depan duluan buat ngeliat taksinya. Bunda bantu bawa bawaan Zora ke depan.

"Bun, makasih, ya. Maaf ngerepotin," kata Zora, salamin tangan Bunda.

"Nggak ngerepotin, sering-sering dateng ke sini, ya," kata Bunda.

Ayah yang habis ngobrol sama supir taksinya, ikut nimbrung. Zora salamin tangan Ayah juga, bilang makasih.

"Hati-hati, ya, Nak, kabarin Bunda kalau udah sampai rumah," kata Bunda.

Zora ngangguk di dalem mobil, lambai tangan waktu mobilnya udah mulai jalan.

***

Sampai di rumah, Zora taro bawaan dia di atas meja. Dia rebahan di sofa. Rasanya tenang kalau udah sampai rumah. Rasanya sepi lagi, nggak serane di rumah Bunda tadi. Walaupun cuma bertiga doang, tapi rasanya seru.

Zora berdiri, ke arah kamar mandi buat naro seragam kotornya dia. Di tengah jalan, Zora berhenti. Trus dia keinget sesuatu. Dia belum minum obat hari ini. Habis makan malam tadi, Zora lupa buat minum obat.

Zora noleh ke belakang, obat dia ada di dalam tas. Dan tasnya ada di sofa sana. HPnya jatuh ke lantai, tangannya megang dadanya yang makin nyeri.

"Sakit.."

Zora duduk di lantai, nahan rasa sakitnya. HPnya bunyi, ada telepon masuk dari Rei. Telepon pertama nggak diangkat, Rei telepon lagi. Zora nggak ada pikiran buat ngangkat telepon itu dulu. Dia lebih mikirin obatnya.

Zora merangkak ke arah sofa, susah payah nahan rasa sakitnya. Waktu di deket sofa, Zora narik tasnya trus dia keluarin semua isi tasnya ke lantai. Nggak peduli sama buku-bukunya yang berantakan.

Setelah dapat obatnya Zora langsung ngambil botol minumnya yang ada di meja. Zora langsung masukin lima butir obat ke dalam mulutnya.

Zora tutup telinga waktu denger telepon dari HPnya. Rasanya masih sakit, seharusnya tadi dia nggak lupa buat minum obat.

Beberapa saat kemudian, rasa nyerinya mulai reda. Zora atur napasnya yang belum teratur. Zora ngusap air matanya. Bahkan telepon dari Rei masih masuk. Zora nggak tau itu udah panggilan keberapa, dia masih nangis gara-gara kesakitan.

"Tuhan.. kapan selesainya?"











***

Bersambung...

[I] 𝐎𝐙𝐎𝐑𝐄𝐈 [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang