Hari itu

45 16 5
                                    


Setelah mondar-mandir sekian lama, akhirnya aku memutuskan untuk menelpon dosen misterius yang kutemui kemarin. Aku mulai mengetik nomor yang diberikan kemarin dan segera menelponnya.

"Halo," ucapku sedikit gemetar. Namun, tidak ada jawaban dari seberang sana.

"Halo," ucapku lagi. Akan tetapi masih sama saja. Segera aku mengecek handphoneku dan berniat ingin mematikannya. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara yang cukup jelas dari sana.

"Halo. Maaf ya, saya sedang ada gangguan,"

"Dengan Kayla Arabelle ya?" tanya dosen itu dengan suaranya yang cukup berat. Aku pun terdiam sejenak. Bagaimana mungkin dia bisa tau namaku, padahal kami belum berkenalan sama sekali.

"Anda kok bisa tau nama saya?" tanyaku balik.

"Kemampuan stalking saya lebih jago dari Dylan. Gak cuma Tuhan kamu, saya juga tau letak geografis rumah kamu. Mantan pacar kamu dan satu lagi, nama panggilan kamu." jelasnya padaku yang semakin membuatku bingung. Untuk apa dia memberitahuku semua itu?

"Kamu sering dipanggil key, 'kan?!" tanyanya lagi.

"Hah?! Jangan-jangan gue dikerjain," batinku mulai resah.

"Halo," ucapnya tiba-tiba menyadarkanku.

"Mmm... Jadi gini pak, niat saya nelpon bapak itu cuma gara-gara insiden tabrakan kemarin. Saya cuma mau minta maaf," jelasku padanya tanpa berlama-lama.

"Saya udah maafin kamu, tapi...."

"Tapi apalagi pak?" potongku.

"Kamu harus bantuin saya besok," ucapnya dengan entengnya.

"Pak, saya cuma nabrak bapak dan saya udah minta maaf. Apa itu masih kurang?" protesku padanya dari balik handphone. Akhirnya kami pun terdiam sejenak.

"Kalo kamu mau, kamu tinggal datang ke alamat yang saya kirim. Kalo enggak, ya terserah juga. Tapi, peluang kami tuk jadi mahasiswa abadi akan saya buka," ucapnya membalas ucapanku.

"Hah?!" batinku tidak terima. Dan telepon pun berakhir.

"Dosen gila!" batinku sekali lagi sambil mencampakkan handphoneku keatas kasur, lalu duduk dikursi.

Tidak berselang lama, handphoneku berbunyi lagi.

"Gak dosen, gak Abang, nih lagi, orang aneh. Ngapain sih gangguin gue?!" rengekku.

"Ngapain juga sih gue setuju sama tawaran dia?!" ucapku meraih handphoneku itu.

Siang ini benar-benar menghilangkan moodku. Apalagi setelah menerima pesan dari Aldy. Seharusnya aku menghabiskan waktu seharian untuk istirahat tapi dia mengharuskanku untuk bergerak lagi. Aku benar-benar malas untuk bergerak. Aku ingin tidur.

Dengan mengumpulkan segala niat yang ada, aku meraih tas kecil diatas meja dan mulai melangkah keluar. Segera kunyalakan mobil dan mulai bergegas ke alamat yang dikirim Aldy.

Setelah menyetir dengan bosannya, aku pun mulai menatap gedung yang cukup tinggi didepanku. Aku turun dari mobil lalu memasuki gedung itu. Seperti yang Aldy katakan, kami akan melakukan pemotretan bersama, dikarenakan partnernya sedang tidak ada.

Dari jauh, aku mulai mengamati orang-orang yang ada ditempat itu. Hingga akhirnya tiba disatu tempat. Sepertinya tempat untuk melakukan persiapan sebelum melakukan pemotretan.

Aku mencoba menelpon Aldy yang tak kunjung nampak batang hidungnya. Dan...

"Hey," bisik seseorang di telingaku. Hal itu cukup membuatku terkejut dan langsung berbalik. Ternyata Aldy sudah berada dibelakangku. Dengan pukulan kecil di bahunya, aku meluapkan kekesalanku. Akan tetapi dia hanya tertawa kecil. Dia memang aneh.

"Kau seharusnya meneleponku," ucapnya membuka pembicaraan. Lalu aku pun menunjukkan handphoneku yang sedang meneleponnya.

"Oh iya, aku baru ingat, aku meninggalkan handphoneku," ucapnya memberi ekspresi bersalah. Pantas saja tidak ada balasan darinya.

"Ya sudah kalau gitu, mau makan dulu atau langsung aja?" tanyanya menawarkan.

"Aku masih kenyang," jawabku singkat.

"Yaudah, kita keruangan lain dulu," ucapnya berbalik sambil menarik tanganku.

"Apa-apaan ini?!" batinku melirik tanganku yang digenggam olehnya dan berusaha menariknya lagi.

"Aku bisa jalan sendiri," ucapku padanya yang akhirnya melepaskan genggamannya. Tanpa perasaan apa-apa, dia lanjut berjalan lagi. Aku pun mengikutinya. Dan tibalah disuatu ruangan. Dengan tangannya yang lembut, dia membuka gagang pintunya dan masuk duluan disusul olehku.

"Jadi gini ruang pemotretannya," batinku sambil melirik sekeliling. Setelah lama melirik kesana-sini, akhirnya mataku tertuju pada satu pemandangan. Seorang gadis muda sedang duduk sambil berpose diatas kursi khusus untuknya. Beberapa kali dia memberikan posenya yang paling menarik dan akhirnya tertangkap oleh kamera, begitu juga dengan mataku.

Setelah pemotretannya selesai, akhirnya disusul oleh Aldy yang ternyata sudah mempersiapkan diri.

Lama sudah aku menunggunya. Ternyata kedatanganku hanya dijadikan sebagai penonton olehnya. Dengan rasa kesal aku pun menatapnya. Dan saling pandang pun tak terelakkan. Anehnya, dia malah tertawa kecil disesi pemotretan yang membuat fotografer hilang fokus.

"Maaf, Saya mau kekamar mandi sebentar," ucapnya sembari meninggalkan lokasi pemotretan. Bukannya pergi kekamar mandi, dia malah menarik tanganku lagi sembari berlari.

"Dy, apa-apaan sih?! Kamu udah gila ya?!" ucapku memberontak menghentikan langkahnya.

"Iya, aku udah gila karna kamu," ucapnya mendekatkan wajahnya padaku. Padahal dia sedang ngos-ngosan.

"Maaf ya, sebenarnya aku bohong sama kamu."

"Semua yang aku bilang, biar aku bisa ketemu kamu lagi,"

"Maaf ya," pintanya menarik kedua tanganku.

Sudahlah, memarahinya juga tidak ada gunanya.

Dengan wajah lesu aku menghela nafas. Kumpulkan seluruh tenagaku. Untuk meluapkan segala kekesalanku, kupukul badannya berkali-kali walau itu hanya membuat dia tertawa sambil mengelak. Dia sangat beruntung, karena aku tidak mengeluarkan jurus andalanku yang sebenarnya. Bagaimanapun, dia masih akan menjalani pemotretan. Jadi, tidak baik membuatnya babak belur sebelum pemotretan dilakukan. Sehingga aku memutuskan untuk menahannya saja.


SEBELUM KAMU(TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang