Kebohongan

62 16 5
                                    

"Aku tahu, tidak selamanya yang kudengar adalah kebenaran. Tapi setidaknya kebenaran itu kudengar darimu yang mencintaiku."





Tidak seperti hari biasa, aku melihat Jerricko didepan rumah sedang sendiri duduk sambil memainkan gitarnya. Dengan sedikit mengintip, aku mencoba mendekatinya. Aku jadi teringat sesuatu. Dan aku ingin menanyakannya padanya. Kulangkahkan kakiku dan sampai juga disampingnya.

Setelah beberapa lama berdiri disampingnya, dia akhirnya menyadari kehadiranku dan segera berhenti memainkan gitarnya. Dengan perasaan sedikit malas dia menoleh kearahku.

"Ngapain Lo berdiri disitu?" tanyanya tiba-tiba sambil memandangiku. Aku pun hanya diam memandanginya balik.

"Penghuni rumah ini lagi berdiri disitu," ucapnya mengangkat dagunya mengarahkan pandangannya tepat dikakiku.

Sontak aku kaget, dan langsung berpindah tempat sambil mengecek bulu romaku. "Masa ia rumah ini ada penghuninya," batinku ketakutan.

"Masih berdiri aja, sini duduk!" perintahnya padaku yang masih berdiri sambil memikirkan ucapannya tadi. Akhirnya aku pun duduk dikursi persis disampingnya. Lalu dia pun kembali memainkan gitarnya.

"Lo ngerjai gue kan?!" tanyaku menyelidiki dengan sedikit ekspresi marah. Namun dia tidak menghiraukan ku.

"Woi!" sergapku menghentikan petikan gitarnya.

"Apaan si! Lu gak bisa ngoceh gak sih! Setiap hari yang gue dengar ocehan lu mulu, teriakan lu mulu, sekali-kali lu kalem, gue risih sama suara lu" ucapnya mengutarakan kekesalannya padaku.

"Lu pikir cuma lu yang risih, gue juga risih sama tingkah lu yang kayak setan," balasku penuh protes.

"Apa lu bilang?!" ucapnya melempar tatapan tajam tidak terima atas pernyataanku.

"Ya kan emang ia, kerjaan lu cuma datang duduk diam dan gak bersuara." Jelasku blak-blakan padanya.

Dia pun hanya menatap menahan rasa yang tak bisa ia utarakan. Karena dia tidak bisa membantah atas tuduhan yang memang benar adanya. Mungkin saja dia sedang mengomel dan marah-marah dalam hatinya. Cuman gak kedengaran karena didalam hati.

Akhirnya kami mengakhiri pertengkaran kami dengan saling diam di tempat itu. Aku pun teringat akan maksud kedatanganku untuk mengajak Jerricko berbicara. Belum aku bertanya sudah berkelahi lebih dulu. Memang susah punya abang seperti dia.

Tanpa berlama-lama, aku mulai membuka pembicaraan lagi agar bisa bertanya kepada Jerricko. Tidak apa aku mengalah untuk memulai pembicaraan. Jika tidak, aku akan kehilangan kesempatan.

"Aku mau nanya sesuatu," ucapku berusaha membuka pembicaraan dengannya.

"Yang bisa bicara sama gue cuma setan," ucapnya bangkit bersama gitar yang berada di pangkuannya.

"Tunggu dulu!" cegahku menarik tangannya. Dia pun berbalik dan langsung melirik jemariku yang menangkap tangannya. Segera aku pun tersadar langsung melepaskannya. Seketika itu dia lanjut melangkah.

"Gapapa deh gue jadi setan, yang penting ni orang mau jawab," batinku seketika.

"Plis, bantu gue jawab satu pertanyaan aja. Gue janji, gue bakal ngelakuin yang Lo suruh selagi gue bisa," pintaku dengan wajah memelas. Beberapa detik kemudian sepertinya ada tanda-tanda kabar baik. Dia berhenti melangkah. Dan berbalik lagi.

"Ya udah, kalo Lo mau gue jawab pertanyaan Lo, ada syaratnya," ucapnya dengan santai. Aku merasa ada yang tidak beres. Melihat raut wajahnya dengan ekspresi sedikit licik itu. Aku takut dia akan mengerjaiku atas perkataanku tadi padanya.

"Lo mau gue jawab atau enggak?!" ancamnya disaat aku masih berfikir.

"Yaudah deh, syaratnya apaan?!" tanyaku membuat keputusan.

"Syarat yang pertama, Lo harus buat vidio ulang tahun mama bareng gue, soalnya mama pengen banget liat kita berdua kompak,"

"Iye," ucapku menyetujui.

"Yang kedua,"

"Kok ada dua sih?!" protesku lagi.

"Buat Vidio itu kan emang harus, jadi bisa dibilang gak termasuk kedalam persyaratan."

Bisa-bisanya Jerricko mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini.

"Lo mau apa?" tanyaku agar segera menanyakan pertanyaan yang ingin aku tanyakan.

"Hmm..... Gue mau jus, gue haus," ucapnya enteng sambil kembali menenteng gitarnya kearahku.

"Dasar malas," batinku kesal sambil menuju dapur.

Didapur ada mama yang lagi masak. Papa dan Jack sedang bermain diluar.
Dengan kesal, aku mulai membuat jus untuk Jerricko. Dan akhirnya hampir selesai. Dengan sigap aku ingin menambahkan gula. Akan tetapi, tiba-tiba pikiran usilku bekerja. Dengan senyum nakal, aku mulai maraih garam yang ada disamping mama dan memasukkan garam itu kedalam jus. Segera kuaduk sampai larut. Tidak lupa kutambahkan perasan asam yang terletak diatas meja, juga sedikit saos pedas kesukaan papa.

"Perlu ditambahin merica gak si?!" batinku menahan tawa sendiri.

"Key, kamu lagi ngapain?" tanya mama tiba-tiba mengejutkanku.

"Mmm... Enggak kok ma, aku cuma mau buat jus," elak ku sambil melangkah pergi untuk mengantarkan jus itu pada Jerricko.

Sesampaiku didepan, segera aku meminta Jerricko untuk barter. Aku memintanya untuk menjawab pertanyaan ku, lalu kuserahkan jusnya. Dan dia setuju dengan permintaanku.

"Sekarang lu jawab dengan jujur, pas kemarin malam abis lu ngantarin gue kesekolah, lu kemana?" tanyaku sambil memegangi jus itu.

Dia sedikit berfikir.

"Mmm.... Gue gak kemana-mana. Abis ngantar lu, gue duduk sendiri disini," jawabnya menerangkan dengan detail kejadian malam kemarin.

"Lu ada liat orang bawa mobil datang kemari?" tanyaku dengan  pasti.

"Kayaknya gadak sih," jawabnya sedikit ragu.

"Jawabnya yang serius," ucapku memaksanya untuk lebih mengingat.

"Secara geografis rumah kita itu terletak di tempat yang jauh dari keramaian dan kebisingan, otomatis kalo ada kendaraan yang lewat pasti gue liat dan gue dengar. Karna malam itu gue cukup lama diluar. Kecuali, kalau orang yang mau jemput lu itu malaikat pencabut nyawa, mungkin gue gak bisa liat dan dengar. Karna waktu itu gue masih sehat, jiwa dan raga gue masih sadar." jelas Jerricko panjang dan lebar.

Mendengar pernyataan Jerricko, aku pun terdiam seketika. Dan mulai teringat akan ucapan Fray malam itu.

"Padahal aku udah jemput kamu, eh tau-taunya kamu udah  nyampe duluan, jadi aku jemput Alika deh."

Ucapan itu terngiang di pikiranku. Hingga memenuhi hatiku.

"Dia bohong." batinku menahan rasa kecewa.

"Emang kenapa? Lu di php-in ya?!" tanya Jerricko membuyarkan lamunanku.

"Iya, sama kaya lu yang php-in gue." batinku menatapnya.

"Yodah, kalo gak ada yang mau ditanya, sini minuman gue," pintanya menarik nampan yang ada di tanganku.

Seketika aku pun tersadar, tiba-tiba dengan perasaan sedikit bersalah aku pun ingin menarik kembali nampan itu. Tapi sudah terlanjur berada ditangan Jerricko.

"Ya sudahlah," batinku.

Akupun langsung lari dan masuk menuju kamar dan menutup telingaku sambil menutup mata agar tidak tertangkap oleh Jerricko. Aku membayangkan bagaimana ekspresi Jerricko meminum jus buatanku. Mungkin dia sedang marah dan muntah-muntah.

"Hahahah, Sorry," batinku tertawa langsung terlentang diranjangku.








Next part ya guys 😊

SEBELUM KAMU(TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang