Pabila cinta
Telah menghunjam
Getarannya hebat
Kena dihatimuTiga bulan telah berlalu. Malam ini, Keynal berada di kafé milik keluarga Wijaya. Dia kembali manggung bersama band-nya yang beranggotakan empat orang. Di sana juga ada Vino selaku drummer.
Dunia tak lagi sama
Semua serubah warna
Kemana
Oh kemana
Tak bisa lari
Dimana oh dimana
Tak bisa sembunyiPemuda yang sejak kecil bercita-cita menjadi guru sastra itu, mendekat bibir pada mikrofon yang berdiri tegak di depannya. Keynal menutup mata, menikmati irama lagu milik Richard Gondo yang dia nyanyikan.
Berbeda dari sebelumnya, malam ini Keynal menyanyikan lagu dengan emosional, sehingga mengurus emosi para pengunjung yang senantiasa menanti penampilannya di atas panggung.
Cinta oh cintanya
Begitu hebatnya
Janjikan sebuah nirwana
NIRWANA CINTATepat setelah lagu itu berakhir Keynal langsung membanting gitar bass mahalnya sampai remuk menjadi beberapa bagian.
Tidak hanya pengunjung yang berteriak kaget. Bahkan Yona yang duduk di samping bar, juga secara tak sengaja menjatuhkan gelas air yang dipegangnya. Hingga pecah berkeping-keping.
Keynal melompat turun dari stage. Tanpa menghiraukan hujatan, dan pekikan kekesalan dari para penggemar yang senantiasa menggelu-elukan namanya.
Dia bergegas masuk ke ruangan manajer di samping meja bar. Ruangan itu adalah tempat dia dan Yona biasa beristirahat, jika tidak ada kegiatan di kafé.
Sementara Yona menaiki panggung kecil di tengah ruangan. Dia meminta maaf melalui mikrofon yang barusan digunakan Keynal untuk bernyanyi.
Tak lama perempuan berambut sebahu yang hobi menganti warna rambut, serta cat kuku itu memasuki ruangan kerjanya.
Di dalam ruangan Keynal berdiri membelakang Yona, sembari memasukkan tangan di kantong celana-menikmati suasana kota Jakarta yang tampak kelam di matanya.
Yona mengunci pintu dan perlahan mendekati Keynal yang kini berdiri tengah di jendela kaca. “Aku gak suka, liat sikap kasar kamu tadi.”
Keynal berbalik dan menatap menatap Yona dengan tatapan kosong. “Kamu tau, aku muak sama semua ini.”
Yona memalingkan wajahnya sembari tersenyum menggelitik. “Kamu pikir aku, cuma kamu yang muak. Aku capek, liat sikap kamu yang gak profesional kayak tadi.”
“Kita udah bertunangan Nal. Jadi, kamu bisa berlaku sesuka hati kamu.” Perempuan itu bergerak maju dan menunjuk cincin pertunangan mereka yang sudah memasuki minggu ketiga.
Tidak! Itu semua bukan keinginan Keynal, melainkan paksaan dari Yona dan Arlan yang mutlak dan tidak bisa terbantahkan.
“Kita emang udah tunangan, tapi kamu berhak ngatur hidup aku.” Keynal mengayunkan langkah dan berlalu pergi meninggalkan Yona.
Sejak kecil otaknya sudah dijejali oleh stikma negatif, orang tua angkat yang keras, pembalasan budi, pacar yang manipulatif juga playing victim. Sehingga Keynal tak bisa menolak semua keinginan Yona.
Mental Keynal memang sudah rusak sejak kecil. Hilangnya nasihat serta arahan dari orang tua kandungnya, membuat dia renta terkena depresi. Hal itu juga yang telah memicu Keynal menjadi pribadi yang murung dan tertutup.
“Pilihan kamu cuma aku, Nal. Gak ada yang lain.” Ucapan Yona membuat tubuh Keynal menegang di ambang pintu.
“Hidup aku milik aku, bukan milik siapapun.” Keynal melangkah keluar seraya membanting pintu.
Meski dinilai kuat oleh sebagian orang, nyatanya dia selalu terombang-ambing dalam menentukan pilihan hidupnya. Keynal itu tidak lebih dari anak kucing yang kehilangan induknya di tengah jalan.
Dulu, dia memang sempat diangkat anak oleh pamannya, yaitu Junaedi. Namun, karena keterbatas ekonomi maka dengan pasrah Junaedi memberikan hak asuh Keynal kepada Arlan.
Ini malam tergelap yang pernah singgah di hati Keynal. Begitu perih lagi menyakitkan, ketika terbayang pengkhianatan Veranda waktu itu.
Wanita yang sempat dia puja, hanya menipu dirinya. Pekat, dalam, dan hunjam. Perbuatan Veranda nyaris sempurna melukai perasaannya. Sungguh, betapa memuakkannya terbekap emosi. Malam pun terasa menjijikan. Muak! Mual, dan sangat melelahkan.
❖❖❖❖
Sementara di lain waktu,Veranda tengah duduk di balkon kamarnya. Mengamati ibunya yang tengah fokus-menyiram tanaman di pekarangan depan rumahnya.
Gulungan daun-daun dan kuntum kelopak bunga-bunga beraneka warna, menyembul di samping rumahnya dengan warna yang kini pucat, dan tampak menciut karena melewati musim dingin tahun ini.
Sinar matahari yang muncul siang hari, membuat daun dan bunga itu seolah menggeliat demi memeluk kehangatan akan harapan hadirnya musim semi.
Pagar pendek dari kayu mahoni tampak mengelilingi seluruh pekarangan halaman rumah Veranda yang terdiri atas dua lantai. Mata Veranda bergulir ke bawah. Menerawang rumah-rumah tetangganya yang tidak terlalu tinggi.
Walaupun tampak kecil. Veranda melihat satu keluarga ayam beriringan keluar kandang. Terdiri dari ayam jantan, ayam betina, dan empat anak ayam mereka semua pergi untuk mengais cacing di tanah lembap bekas hujan semalam.
Dia melengkungkan bibirnya melihat kehangatan itu. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma rumput dan tanah yang menyegarkan.
Dihirupnya udara sedalam mungkin, hingga rasanya kesegaran dan ketenangan aroma yang ditinggalkan setelah hujan reda, menyapu lembut paru-parunya.
Namun, tak lama mata Veranda mulai berkaca-kaca. Dia mengamati puluhan burung gereja yang bertengger di kabel listrik. Ketika angin datang. Kabel listrik itu berayun-ayun. Membuat burung-burung terbang tinggi. Pergi bersama-sama dan entah ke mana.
Rindu perlahan menyusup dalam kalbu dan mengambil akal dan jiwanya agar tetap ingat akan satu nama. Seseorang yang telah mengisi hatinya selama enam bulan terakhir.
Sosok yang kadang lebih dewasa meski sejatinya, Keynal dua tahun lebih muda Veranda. Sosok yang berbeda dari semua lelaki yang pernah Veranda temui di tempat kerjanya, sewaktu masih menjadi kasir minimarket.
Veranda rindu akan sosok Keynal dingin, tetapi begitu perhatian. Meski Keynal tidak menunjuk perhatian itu secara terang-terang, tetapi itu sukses mempermainkan perasaan Veranda.
Veranda tersenyum saat mengingat betapa bodohnya Keynal, ketika laki-laki itu cemburu dan tak mau mengakui kekesalannya.
Senyum manis, kalimat yang mengintimidasi, pikiran yang acap kali berubah, serta tatapan tajam yang seakan menembus jantungnya. Semua itu adalah hal paling Veranda rindukan dari sosok seorang Keynal.
Veranda rindu ketika Keynal memarahinya dengan nada tinggi. Dia suka dengan sikap apatis Keynal yang tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya. Sebab tahu Veranda, jika pemuda itu hanya memandang dirinya meskipun mereka berada di tengah kerumunan.
Veranda teringat kejadian waktu makan bersama di sebuah mall, waktu itu banyak pasang mata mencoba untuk mengalihkan perhatian Keynal, tetapi pemuda itu hanya melihat ke arah Veranda, untuk waktu yang lama.
Jujur Veranda ingin merasakan kembali tekanan hangat Keynal di bibirnya. Juga belaian jari-jemari Keynal yang begitu lembut dan menggetarkan hatinya. Meskipun Veranda tidak tahu kapan dia dan cinta pertamanya itu akan bertemu kembali. Mungkin besok, nanti, atau bahkan tidak untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIDADARI TERAKHIR [END]
Mystery / Thriller17+ Gιмαηα Rαѕαηуα Jιкα Kαмυ Cιηтα Sαмα Cσωσк Sιмραηαη Tαηтє-Tαηтє Dan itu dialami langsung oleh Veranda. Bidadari tak bersayap yang berprofesi sebagai kasir minimarket di kota Jakarta. Ve, begitu sapaan akrabnya jatuh hati sama seorang pemuda yang...