-sepuluh

56 12 3
                                    

"Langit, maafin ibu ya karena tadi nyuruh pulang sendiri" Ucap Raya pelan saat Langit hendak turun dari mobilnya karena mereka sudah sampai didepan rumah Langit.

Raya merasa tak enak hati pada Langit, walaupun Ibu menyuruh Langit dengan nada bicara yang lembut tapi tetap saja, ia takut Langit tersinggung.

"Eh gapapa kok, mas. Itu kan kewajiban, gak boleh ditinggalin" kata Langit kemudian tersenyum.

"Langit beneran bukan pacar Jagad?" Tanya Raya memastikan. Sebab ia melihat mereka berdua seolah layaknya sepasang kekasih yang baru saja meresmikan hubungan mereka.

Langit terdiam, tidak langsung menanggapi pertanyaan Raya. Otaknya memutar kejadian tempo hari diwarung roti bakar. Jagad sudah tidak mempertanyakan perihal status mereka, Jagad hanya ingin Langit selalu berada didekatnya.

"Bukan, Mas. Langit gak pacaran sama Jagad." Ucap Langit namun matanya tidak menatap si lawan bicara. Ia lebih memilih untuk memandang luar jendela mobil.

"Mas, gak berangkat? Nanti Ibu nungguin." Sambung Langit pelan.

Raya tersenyum, "baik-baik ya sama Jagad".

Langit membalas senyum Raya seraya turun dari mobilnya, "hati-hati ya, mas. Makasih."


Jagad merebahkan tubuhnya dikasur. Ia sama sekali tidak berniat melakukan apapun. Sepulang gereja tadi, ia menyuruh Genta untuk datang kerumahnya dan menyuruh laki-laki itu untuk menginap.

"Lo gak bawa apa-apaan?" tanya Jagad yang saat ini masih setia dengan kasurnya.

"Bawa diri juga udah kesulitan gue" ucap Genta asal tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

"Beban pertemanan banget lu, Gen."

Ia menengok sekilas kearah jam dinding yang berada tepat diatas meja belajarnya.

Pukul setengah dua pagi.

Jagad menendang selimut kemudian bangkit dari kasurnya, mengacak rambutnya sebentar lalu berjalan kearah balkon kamarnya sambil meraih gitar yang terletak didekat pintu balkon.

Ia duduk dikursi rotan yang ada dibalkon kamarnya, udara malam itu lumayan dingin diakibatkan oleh hujan yang sempat mengguyur, tubuh Jagad bergidik karena hembusan angin.

Ia memejamkan matanya, menikmati petikan gitarnya sambil bersenandung pelan.

Pikiran nya mengawang jauh dan menampilkan sosok Langit. Jagad mengerjap, ada rasa bersalah yang hinggap akibat kejadian sore tadi.

Jagad dihadapkan pada dua keadaan sekaligus. Namun, Jagad merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan sosok pengertian seperti Langit.

"Awas kesurupan!" Suara Genta membuyarkan pikirannya dalam sekejap. "Lo gabut banget ya sampe jam setengah dua pagi gini gitaran?" sambung Genta sambil menyesap kopi yang baru saja ia buat.

Jagad menghentikan petikan gitarnya, mengalihkan pandangannya kepada teman disebelahnya.

"Lo gak tidur?" Kata Jagad yang malah balik bertanya.

"Beneran nih gue boleh tidur?"

"Ya jangan, ngapain lo kesini kalo cuma buat numpang tidur doang?"

"Serba salah ya temenan sama lo!" ucap Genta kesal.

Jagad terkekeh melihat temannya, kemudian ia menumpukan kembali atensinya pada sebuah gitar yang berada digenggamannya.

Petikan gitar Jagad dan suara lembut Genta memenuhi suasana malam itu, ditemani suara jangkring dan hembusan angin malam yang menusuk kulit. Membuat keduanya lupa kalau mereka ada kelas pukul tujuh pagi.

APFOKUS || MARK LEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang