-dua puluh tujuh

32 11 2
                                    



Langit menengok arloji dipergelangan tangannya. Pukul 18.35. Perdebatan dengan Fatih tadi ternyata menguras serta membuang-buang waktunya.

Langit tadi memutuskan untuk mengembalikan buku yang ia pinjam diperpustakaan kampus, dan menyuruh Mondy serta Jihan untuk pulang lebih dulu.

"Jangan pulang malem-malem, Kalo bisa jam 7 udah sampe rumah. Lo balik sendirian soalnya, kalo ada apa-apa telepon gue!" Pesan perhatian dari Mondy tadi sebelum ia pergi meninggalkan kampus.

Mondy memang se-over itu terhadapnya ataupun Jihan.

Awan hitam menggantung diatas hiruk pikuk jalanan depan kampus. Membuat langit menjadi begitu pekat. Semerbak bau tanah basah mulai tercium samar-samar. Sudah dipastikan bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Benar saja, titik-titik kecil hujan mulai menyentuh jalanan. Saat ini Langit tengah berada dihalte depan kampus nya menunggu bus yang akan mengantarnya pulang. Salah satu tangannya terangkat menengadah ke langit, memastikan apakah hujan benar-benar turun atau tidak.

Terdengar gemuruh menggelegar dilangit, kilatan cahaya pun berkilat tiap detik. Hujan pun turun dengan derasnya.

Langit menunduk, dengan wajah yang ketakutan ia memejamkan matanya tiap kali terdengar suara guntur. Hanya ada Langit dan 2 orang perempuan disebelahnya di halte tersebut, sepertinya keduanya adalah mahasiswa kampus Langit juga, namun gadis itu tidak mengenalnya.

Suara geluduk semakin mengaduh, seakan langit sedang berperang. Gadis itu terus menunduk dan memeluk tubuhnya sendiri, memejamkan matanya, dan mulutnya terus komat-kamit melantunkan ayat suci Al-Qur'an semampu yang ia bisa.

Langit seperti terjebak diantara peperangan, ia ketakutan setengah mati. Namun, bus yang ia tunggu tidak kunjung datang. Langit semakin berpikir bahwa dia tidak bisa melindungi diri dari hujan deras dan suara guntur yang begitu keras jika ia hanya berdiam diri dihalte tersebut.

Namun tidak ada pilihan.

Langit berjongkok begitu petir bersambar extra keras, diikuti dengan teriakannya dan 2 orang gadis disampingnya yang tengah berpelukan. Sepertinya keduanya adalah teman.

Langit berjongkok memeluk lututnya, gadis itu hampir menangis, namun ia tahan karena malu.

Langit mendengar langkah setengah berlari dan berhenti tepat disampingnya, namun ia tidak ingin melihat siapa orang yang baru datang.

Langit mendongak begitu ia merasakan seseorang mengelus kepalanya lembut, seseorang bertubuh tegap memberikan perlindungan kepadanya diantara hujan dan amukan guntur.

"Jagad..." gumam Langit pelan.

Langit sontak berdiri, seperti tersadar dari rasa takutnya, matanya telah basah oleh bulir-bulir bening yang sedari tadi ia tahan akibat malu.

Selalu seperti itu, ia tidak bisa mengontrol emosinya. Air matanya selalu keluar begitu saja tiap kali ia melihat Jagad diantara rasa takutnya.

"I found you" ucap Jagad sambil tersenyum. Rasa khawatir tergambar jelas diwajah serta lekukan senyumnya.

"Kamu kenapa ada disini?" tanya Langit dengan suara serak.

Alih-alih menjawab, Jagad malah merengkuh tubuh mungil Langit, memberi perlindungan sekaligus rasa nyaman. Jagad paham betul apa yang Langit butuhkan saat ini. Langit yang masih kebingungan dengan perlakuan Jagad pun membalas pelukan laki-laki itu. Memejamkan matanya, menghilangkan rasa takut yang sedari tadi ia rasakan.

Sore menjelang malam itu, dibawah hujan dan atap halte bus, Jagad memberikan pelukan terhangatnya untuk Langit. Disaksikan oleh 2 orang sahabat yang sedari tadi ada disamping mereka.

APFOKUS || MARK LEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang