-tiga puluh satu

42 8 1
                                    

Pagi sudah lama turun, embun-embun pun sudah mulai menipis--menghilang akibat diterpa sinar mentari.

Langit berjalan keluar dari kamarnya dan langsung menuju ruang keluarga dilantai satu. Disana, Rega sudah terlihat menikmati semangkuk bubur ayam sambil menonton televisi--serial kartun Upin & Ipin. Jauh dari kata dewasa, memang. Tapi, begitulah adiknya.

Langit memutuskan untuk ikut duduk bersama Rega. Meskipun ia tidak tertarik untuk menonton, tapi matanya tetap saja terpaku pada layar televisi.

Rega menoleh kearahnya, "gak sarapan lo?" tanya laki-laki yang rahangnya bergerak kesana kemari--sibuk mengunyah bubur yang ada didalam mulutnya.

Langit menggeleng sambil tersenyum kecil. Matanya mengarah ke sofa kecil didepannya--tempat dimana Jagad duduk saat pertama kali laki-laki itu datang mengunjungi rumahnya dan mengobrol dengan Papa. Pikirannya memutar jauh ke belakang, bayangan Jagad kembali hadir dibenaknya.

Ia melihat senyum hangat sekaligus kikuk Jagad disana, bagaimana Jagad tampak grogi dan cemas saat Papa mengajaknya berbicara.

Langit mengerjap, berusaha menghilangkan bayang-bayang Jagad dipikirannya. Benaknya seperti tenggelam dalam ingatan yang terseret oleh kejamnya sebuah kenangan.

Sudah hampir dua bulan hidupnya berjalan tanpa seorang Jagad disampingnya. Tidak ada yang berubah, semua berjalan seperti biasa. Yang berubah hanyalah hatinya--ia tak lagi mekar, tapi menguncup sebab dirundung rasa kecewa.

Sampai saat ini gadis itu tidak mengerti, bahkan tiap hari ia hanya memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ia seperti melayang, tidak tau kemana akan melangkah dan tidak tau pula kapan ia harus berhenti. Semuanya terjadi begitu cepat. Langit memang saat ini kecewa, bahkan marah. Namun, kepada siapa ia harus marah saat ini? Ia tidak tau siapa yang salah dan yang harus disalahkan akan hal ini. Semua terlalu cepat dan rumit.

"Lo gak kuliah?" Suara Rega membuyarkan lamunannya.

Langit menoleh memandang wajah adiknya, "kosong." Jawabnya singkat.

Rega tidak menanggapi jawaban Kakaknya, ia langsung berlenggang meninggalkan sang Kakak yang masih terpaku ditempatnya serta Upin & Ipin yang sedang mengejar Rembo ditelevisi.

Langit menghela napas, ia menyender disofa tanpa berniat mengganti acara ditelevisi.

"LANGIT!" Teriak Mama dari depan pintu rumahnya.

Langit seketika menegakkan posisi duduknya, "LANGIIIITTTTT!!!! Denger gak sih??!!!" Panggil Mama lagi, namun kali ini dengan sedikit ocehan.

Gadis itu mendengus sebal, "Apasih, Ma? Masih pagi udah teriak-teriak aja" ucap Langit begitu ia menghampiri Mama.

Mata Langit membulat saat ia mendapati Mondy yang sudah duduk manis dikursi terasnya. Laki-laki itu nampak segar--sepertinya ia baru saja keramas. "Kalo dipanggil tuh nyaut kenapa sih?!" Omel Mama.

"Kasian ini anak ganteng udah nunggu dari tadi" Ucap Mama lagi, "Mondy mau minum apa?" Tawar Mama.

"Hmm, apa aja, Mah... Eh... Tante maksudnya" Jawab Mondy terbata namun dibarengi dengan kekehan.

Mama tertawa, sementara Langit memutar bola matanya malas. Kemudian Mama masuk meninggalkan keduanya.

"Apa ada sesuatu penting yang membawa lo kesini?" Tanya Langit membuka interaksi diantara mereka.

Mondy menggeleng.

"Terus?"

"Pengen aja" Jawab laki-laki itu singkat.

"Pengen apa?" tanya Langit penasaran.

"Pengen aja liat penampilan lo waktu belom mandi kayak gini." Ejek Mondy kemudian tertawa.

APFOKUS || MARK LEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang