-dua puluh sembilan

37 8 5
                                    

Angin malam bertiup cukup dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Angin malam bertiup cukup dingin. Jagad berdiri terpaku diteras rumahnya sambil melamun.

Pekan depan, statusnya dikampus sudah masuk dalam kategori Mahasiswa angkatan tua karena sudah menginjak awal semester 6.

Ternyata sudah banyak yang ia lalui selama ini, banyak juga cerita yang tidak sengaja terbentuk, dan Langit menjadi bagian penting didalamnya.

Ponsel disaku Jagad berdering, tertera nama Langit dilayar.

Ragu.

Jagad ragu apakah telepon itu harus diangkat atau tidak. Namun, otak kirinya mendominasi pikirannya- membuatnya berpikir jernih saat ini.

"Halo, Langit?"

Hening.

"Langit?" Ulang Jagad mengerenyit.

Langit berbicara sangat pelan, "Jagad, terimakasih."

"Untuk apa? Kamu kenapa?" Hati Jagad berdebar, ia merasa takut seketika.

"Untuk semuanya..." ucap Langit dengan suara lirih. "Kamu pernah bilang, kalo suatu saat kita emang ditakdirkan untuk berjalan masing-masing, kita harus mengikhlaskannya pelan-pelan kan? Jadi, kalo waktunya udah tiba, kita sudah mulai terbiasa dan gak terlalu sakit?" sambung gadis itu berbisik, nyaris tak terdengar.

Jagad berdeham, namun ia tidak bicara, menunggu Langit menyelesaikan ucapannya.

Terdengar isakan diseberang sana, Jagad mulai khawatir dibuatnya.

"Aku mau belajar untuk mengikhlaskan itu... Aku gak mau lagi egois" Ucap Langit yang sepertinya makin terisak.

"Langit..." Panggil Jagad lembut, ia sangat khawatir dengan gadis itu sekarang.

"Aku udah mikirin ini. Kamu bener, akan ada banyak orang yang kecewa. Jadi aku memutuskan untuk mengalah!"

"Langit... Can i meet you? Aku kerumah kamu sekarang!" Sahut Jagad sambil ingin berlari menuju kamarnya untuk mengambil jaket serta kunci motornya.

"JANGAN!" Cegah gadis itu diseberang telepon, "aku bakal makin nangis kalo aku liat kamu sekarang."

Seketika langkah Jagad terhenti didepan pintu rumahnya.

"Langit maafin aku..."

Belum sempat Jagad menyelesaikan ucapannya, Langit menutup telepon nya secara sepihak.

Jagad memegang dadanya, ia merasakan sakit. Seperti ribuan panah tengah menghujam dadanya, ia meringis. Ia merasa seperti telah kehilangan gadis itu dalam hitungan detik. Walaupun ia yakin Langit tidak benar-benar meninggalkannya. Langit hanya belajar mengikhlaskannya. Namun, dilubuk hatinya yang paling dalam, Jagad sama sekali tidak ikhlas jika ia dan Langit tidak lagi bersama.


APFOKUS || MARK LEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang